Masa Pemulihan

24 0 0
                                    

Dua bulan berlalu, hidupku sudah mulai tertata lagi menjadi lebih teratur sepeninggal Erik yang telah memporak porandakan isi duniaku. Setelah kejadian ini sebagian orang mungkin akan membenci mantannya, mengutuki waktu dan keadaan, hingga menyakiti diri sendiri. Tapi tak akan ku lakukan itu kepada diriku, karena aku menyayangi diriku.


Dari setiap kejadian dalam hidup ini sebenarnya adalah atas izin Tuhan, petunjuk Tuhan yang sering tidak disadari oleh manusia. Karena memang tak sepantasnya berharap banyak kepada manusia sehingga menduakan Sang Pencipta.

Dalam masa pemulihanku, aku merenung, aku tetap saja menyelipkan namanya di dalam setiap permintaanku pada Tuhan semesta alam, aku tidak menampik jika hatiku, perasaanku masih tertuju padanya berharap suatu saat Tuhan mengabulkan inginku untuk menatap matanya sekali lagi. Semua orang pasti pernah merasa berpura - pura baik – baik saja diantara kecamuk hati, begitupun yang ku rasakan. Banyak saran yang ku dapat dari para sahabat agar aku cepat move on.



Setahuku, move on berarti mencari pengganti. Sungguh saat itu aku belum sempat berpikir untuk mencari pengganti, tak ada yang menarik perhatianku, sulit rasanya untuk memulai kisah baru dengan orang baru padahal luka di hati belum sembuh bahkan masih basah. Ibarat aku adalah sepasang kaki dan Erik adalah sepasang sepatu kami berdua berlari bersama untuk mengejar masa depan, di saat berlari tiba – tiba sang sepatu itu lepas ataupun rusak lalu tak bisa aku ambil kembali. Jadi semakin kencang aku berlari maka akan semakin besar resiko kakiku akan terluka. Filosofinya semakin besar perasaan cinta terhadap seseorang maka semakin besar pula luka yang akan ditimbulkan. Nah pada saat itu aku ingin mencari sepatu baru jelas tidak mungkin, karena kakiku ini masih penuh luka, sekalipun ku paksa di pasangi sepatu, suatu saat kakiku akan makin busuk karena lukanya belum sembuh dan aku tidak sanggup berlari dengan kencang.

Dalam masa pemulihan ini jawabannya hanya waktu, jadi aku harus dengan sabar menunggu sampai lukaku sembuh sempurna, setelah itu barulah aku bisa melanjutkan untuk mencari sepatu baru lagi. Aku tidak ingin gegabah mencari pengganti, kalau pengganti itu hanya sebagai status buat apa? Lebih baik menikmati kesendirian dulu.

"Alaaah, bilang aja lu belum bisa lupain Erik kan? Gak rela kan mengganti Erik dengan orang lain." Timpal Bella pada suatu malam ketika para 'PEMBUNUH' sedang melakukan rapat meja bundar, kalo bahasa sekarangnya adalah nongki cantik.

Ku perkenalkan dulu Bella ini padamu, dia adalah salah satu anggota dari 'PEMBUNUH', iyaa maksudku sahabat – sahabatku yang menjadi pembunuh kesepian dalam hidupku, sudah pernah ku ceritakan padamu kan arti dari 'PEMBUNUH' di awal cerita. Waktu itu Bella tidak ikut berlibur karena sedang ada ujian akhir semester di kampusnya.

Mengenai tuduhan Bella tadi, ku akui memang dia benar. Sosok Erik Wijaya bagiku sulit diganti. Teman – temanku berpikir bahwa aku sudah dibutakan oleh cintaku pada Erik, dan mungkin sebagian dari kamu juga menganggap aku bodoh, sudah jelas Erik selingkuh terang – terangan lalu mengakuinya sekaligus memilih mantannya daripada mempertahankan aku yang sudah berjuang sekuat tenaga menahan rindu dan balasan Erik tak sebanding. Memang benar, jika menggunakan logika maka aku akan terlihat bodoh. Tapi ada sesuatu hal yang tak bisa ku jelaskan padamu ketika aku bersama Erik, dia itu istimewa, lebih dari martabak, dia begitu manis lebih dari terang bulan, dia lembut lebih dari kue bolu, suaranya yang renyah lebih dari wafer 'tango'. Bicara soal cemilan aku jadi lapar, hmm maafkan aku.

Intinya, aku memang tidak bisa membenci lelaki berkulit putih itu, bermata sipit, dengan tinggi 170 cm, yang hobby-nya memancing dan main game, si perokok berat, penyuka durian, yang kalo disuruh makan sangat susah, keras kepala, egois, gengsian, gak suka ke bioskop, gak suka tempat ramai, gak suka nyusahin orang, simple, pemarah juga, moody-an tapi aku sayang.

"Memang berat sih, gue pernah kok ada di posisi Via. Diputusin secara sepihak yang padahal sebelumnya hubungan kami baik-baik saja." Alya curhat colongan tanpa kontrol, setelah sadar karena kami hening dengan khusyuk mendengarkannya ceritanya, dia langsung menutup mulutnya. Ayla adalah salah satu temanku yang tidak mau bercerita kalau tidak di pancing, mungkin dia suka bergaul dengan ikan.

"Kenapa berhenti ceritanya?" Tanya Rinni polos.

"Sudah lah jangan diteruskan, nanti akan membuka luka lama." Alya menatapku iba, dan aku hanya tersenyum simpul membalas tatapannya.

"Pada heran deh, kenapa sih sukaaa banget ngebahas mantan? Gue bingung gitu lho kenapa sampai ada lagu mantan terindah? Bagi gue yang namanya mantan terindah tu yang berakhir menjadi suami, bener gak? Setuju kan sama gue? Mantan itu sudah berlalu, mau ditangisin kayak apa juga kalo Tuhan gak izinin jodoh sama dia kita bisa apa?" setelah Bella berpidato singkat, Aku, Marsha, Rinni dan Alya saling melempar pandangan.

"Unbelievable, demi apapun gue gak percaya ini Bella yang gue kenal." Aku melongo ke arah Bella yang saat itu sedikit salah tingkah karena semua mata tertuju padanya, maksudku mata kami berempat.

"Seriously, I feel shock." Aku tertawa melihat ekspresi Marsha yang berlebihan.

"Lah kenapa sih pada gitu liatnya? Gue salah ngomong ya?" Dengan tampang polos Bella ikut melongo.

"Gue tanya sama lu Bel, lu yakin udah move on?" Alya mempertegas kata – katanya yang terakhir.

"Ya jelas lah... Belum." Bella mulai meringis mengutuki dirinya. Tanpa aba – aba kami tertawa bersama.

"Terus? Yang tadi barusan ngomong itu siapa?" Timpal Rinni masih dalam keadaan terpingkal – pingkal.

"Gak tau, ngalir aja gitu dari otak gue, he he he. Anyway kalian kan ketawa, anggap saja aku lagi menghibur Via yang akhir – akhir ini tidak baik-baik saja ya kan." Bella melirik jahil ke arahku, aku tersenyum melihat tingkahnya.

Memang benar kan, tak ada yang baik – baik saja saat dipukul mundur, maka tidak salah jika ada beberapa orang yang memilih untuk membangun tembok tinggi untuk menutup hati mereka, menjauh dari semua hal yang menyesakkan hati, bagi mereka kala itu adalah kekecewaan yang teramat sukar untuk terobati.

Benar kata mereka yang mengatakan bahwa berharap kepada selain Tuhanmu, maka kamu sedang menggali kuburan untuk hatimu sendiri, dan bodohnya aku baru menyadari setelah aku kehilangan Erik.





Kemudian aku duduk bersimpuh Di atas sajadahku,

Bukan karena aku ingin Mempertanyakan tentang takdir Tuhanku

Melainkan karena aku tahu bahwa Hanya Tuhanku

Yang paling mengerti Makna senyumku setelah kepergiannya.

Kedua KaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang