Setelah hari itu, hidup Adriell bagaikan sebuah mimpi buruk yang entah kapan akan berakhir.
Setiap malamnya, sebelum memejamkan mata, Adriell selalu berharap mimpinya akan berakhir dan ia dapat kembali ke kehidupannya yang normal. Adriell benar-benar sudah merindukan masa-masa itu. Meskipun kadang membosankan, Adriell berani bersumpah bahwa hal itu jauh lebih baik.
Tetapi, ketika Adriell membuka matanya di pagi hari, ketika ia melihat Bunda berdiri di sebelahnya dengan raut wajah lelah dan kesenduan di matanya, Adriell tahu bahwa semuanya benar-benar nyata. Mau sekuat apapun ia menolaknya, kenyataan selalu menamparnya dengan keras.
Melihat Bunda tersenyum, Adriell lantas tersenyum. Seberat apapun masalahnya, Bunda selalu berhasil membuatnya ikut tersenyum.
Adriell menguap sesaat sebelum akhirnya mendudukkan tubuhnya. Ia meraih segelas air yang berada di atas nakas. Segera, Adriell meneguknya hingga tandas. Untuk sejenak, Adriell terdiam di atas tempat tidurnya. Ia menunduk, menatap gelas kosong yang ada di genggaman kedua tangannya. Hari ini adalah hari Minggu, dan rasanya Adriell terlalu malas untuk bangkit dari tempat tidurnya. Selain itu, udara dingin yang berembus dari jendela yang terbuka membuatnya benar-benar merasa nyaman saat berada di bawah selimut.
Bunda menarik selimut yang Adriell gunakan, lalu melipatnya. Ia memincingkan kedua matanya, menatap putranya yang masih saja terdiam.
"Adriell, kamu kenapa?" tanya Bunda khawatir. Ia duduk di sebelah Adriell. Selimut yang baru Bunda lipat, diletakkan di atas pangkuannya. Bunda mengusap puncak kepala Adriell. "Udah jam lima. Salat dulu, yuk. Keburu waktunya habis."
Waktu, ya?
Adriell nyengir lebar. Ia menggeleng dan menjawab, "Aku nggak apa-apa, kok. Aku cuma lagi bersyukur karena hari ini masih dikasih kesempatan buat hidup."
Bunda terdiam di tempatnya. Ada rasa sesak di dadanya saat mendengar ucapan Adriell. Sebagai seorang ibu, mana mungkin Bunda sanggup melihat anaknya itu harus berjuang setiap harinya agar bisa terbangun di pagi hari.
"Bun?"
Bunda lantas mengerjapkan kedua kelopak matanya. Ia mengusap sudut matanya yang sedikit berair. Bunda tidak ingin Adriell melihatnya menangis. Sebisa mungkin, Bunda harus terlihat kuat di depan Adriell. Setidaknya, ia dapat menularkan sedikit kekuatannya pada putranya itu.
"Bunda? Bunda nggak apa-apa 'kan?" tanya Adriell sekali lagi. Ia menelengkan kepala dengan jari yang mencolek lengan Bunda beberapa kali. "Jangan tiba-tiba collapse. Seram, tahu."
Bunda terkekeh pelan. Ia mengusap puncak kepala Adriell dengan lembut sebelum akhirnya bangkit.
"Bunda nggak apa-apa, Sayang," balas Bunda. Ia meletakkan selimut di atas ranjang. "Ayo bangun. Salat subuh, terus mandi. Bunda dinas pagi hari ini. Jangan nakal, jangan lupa makan. Bunda udah masakin buat sampai nanti siang. Jangan lupa minum obat."
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018