Untunglah, saat Adriell sedang panik-paniknya mencari tisu, Bunda datang. Dengan cepat, Adriell menarik Bunda menuju dapur. Meskipun awalnya bingung dengan tingkah anaknya itu, Bunda hanya bisa mengikuti.
Hingga ketika Bunda menjejakkan kaki di dapur, hal pertama yang ia dapati adalah Nevan yang terduduk di lantai dengan tangan menutupi hidungnya. Darah terlihat merembes dari sela-sela jarinya. Kedua mata laki-laki itu terpejam. Segera saja Bunda berlari menghampiri Nevan, membantu putranya itu untuk menghentikan perdarahannya.
Dan kini, pukul setengah tujuh malam, Adriell masih terduduk di kafe rumah sakit. Sebotol air mineral berada di atas meja di hadapannya, tetapi Adriell sama sekali tidak berminat untuk menyentuhnya. Pikirannya hanya terfokus pada Nevan yang entah bagaimana nasibnya saat ini.
Entah sudah berapa lama Adriell tidak berada di posisi saat ini; berpikir tentang keadaan orang yang sejak masih dalam rahim hingga berumur sepuluh tahun selalu bersamanya. Jika Adriell pikir-pikir lagi, sejak hubungannya dengan Nevan memburuk, ia tidak pernah peduli pada keadaan saudara kembar fraternalnya itu. Apalagi soal penyakit genetiknya.
Hingga tak lama kemudian, Adriell dapat melihat sosok Bunda berjalan ke arahnya. Raut wajahnya menunjukkan bahwa Bunda benar-benar lelah. Memang, sejak pulang dinas tadi, Bunda belum beristirahat sama sekali.
"Kok nggak diminum?" tanya Bunda begitu ia duduk di hadapan Adriell. Ia tersenyum lembut, menutupi rasa lelah yang tampak jelas di wajahnya. Di mata Adriell, hal itu memang benar-benar tidak dapat ditutupi.
Adriell menggeleng pelan. Ia meraih tangan Bunda, dan digenggamnya dengan erat. "Bunda." Adriell berucap pelan. Kedua matanya mulai berkaca-kaca.
Untuk sejenak, Adriell berpikir; bagaimana keadaan Bunda jika suatu saat nanti ia harus pergi?
"Iya, Sayang? Kenapa?"
Lagi-lagi, Adriell menggeleng pelan. "Aku sayang Bunda."
Bunda terkekeh pelan, meskipun tanda tanya tampak jelas di manik mata hitam legamnya. "Tumben kamu ngomong begitu. Ada apa, sih?" Bunda menjawil hidung Adriell, lalu mengacak rambutnya gemas. Jarang-jarang anaknya yang satu itu berbicara soal perasaannya.
Adriell menyingkirkan tangan Bunda dari kepalanya. Wajahnya sedikit memerah karena perlakuan Bunda. Ia menarik napas panjang, menghirup aroma kopi yang tercium santer di indera penciumannya. Kedua manik matanya menatap orang yang berlalu lalang.
"Bun."
"Iya?"
"Gimana kalau suatu hari nanti, aku ninggalin Bunda?"
Bunda tercekat di tempatnya. Ia membuang pandangannya, menatap beberapa orang yang raut wajahnya tampak bahagia karena orang yang mereka sayangi telah berhasil melewati masa-masa sulitnya. Untuk sejenak, Bunda berpikir, apa bisa ia berada di posisi mereka suatu hari nanti?
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018