e m p a t . s a t u

10.1K 877 21
                                    

"Kenapa lo pesimis banget kayak gitu?" tanya Nevan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenapa lo pesimis banget kayak gitu?" tanya Nevan. Ia memandang Adriell dengan skeptis. "Lo tahu banget kalau Bunda bakal marah kalau lihat lo hampir nyerah begini. Dan gue juga nggak suka ngeliat lo begini. Lo nggak kayak Adriell yang gue kenal."

Adriell berdecih pelan. "Nggak usah sok peduli," ucap Adriell sinis. Ia tidak lagi memandang Nevan. "Bukannya lo benci sama gue karena gue ngerebut Bunda dari lo? Gue pikir, lo bakal senang kalau gue mati."

Nevan membeku. Bahkan, ia berhenti memakan apelnya. Bola matanya bergerak gelisah. "Gue memang kadang ngerasa iri sama lo karena Bunda selalu merhatiin lo." Sinar matanya tampak terluka karena ucapan Adriell. "Tapi bukan berarti gue bakal senang kalau lo mati, Dri. Bagaimana pun juga, lo kembaran gue. Meskipun kita nggak mirip, tapi gue ngerasain apa yang lo rasain."

Mendengar ucapan Nevan, Adriell lantas tertawa renyah, terkesan meremehkan. "Ngerasain apa yang gue rasain?" Adriell mengulang pernyataan Nevan. Raut wajahnya menunjukkan kalau dirinya benar-benar frustrasi dengan keadaannya saat ini. "Lo bahkan nggak tahu gimana perasaan gue pas didiagnosis kapan hari itu!"

Nada suara Adriell menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Untuk sejenak membuat Nevan terlonjak. Sekesal-kesalnya Adriell pada dirinya, tidak pernah laki-laki itu menggunakan nada tinggi. Rasanya, Nevan ingin segera pergi dari tempat ini.

Tetapi, ketika mendengar napas Adriell yang tersengal-sengal, Nevan mengurungkan niatnya untuk pergi. "Tenang, Dri, tenang," ucap Nevan, berusaha menenangkan. Meski sebenarnya ia tahu bahwa ucapannya tidak akan berdampak pada Adriell. "Tarik napas, embuskan, tarik na―"

"Tolong lo pergi dari sini," potong Adriell. Kali ini, tatapannya tajam, menatap Nevan tepat di manik matanya.

Nevan bangkit dari bed. Ia menggeleng cepat dengan kedua tangan yang meremas apel yang baru setengah dimakan dengan kuat. Sebagian dari dirinya berteriak bahwa Nevan harus pergi dari sana. Tetapi, sebagiannya lagi berteriak bahwa ia harus tetap berada di sana. Adriell mungkin saja membutuhkan seseorang saat ini.

"Dri ...." Nevan masih tetap berusaha tenang. "Tenang. Gue tahu gimana―"

"Gue udah bilang, lo nggak tahu dan nggak akan pernah tahu!" Lagi-lagi, Adriell memotong ucapan Nevan. "Sekarang lo pergi! Gue nggak butuh lo di sini."

Percuma, Van ..., batin Nevan bersuara.

"Yah, oke, gue pergi," ucap Nevan pada akhirnya dengan senyum tipis di bibirnya. Ia mundur selangkah. "Tapi, kalau lo butuh gue ... hubungin gue aja. Lo masih nyimpen kontak gue 'kan?"

Adriell hanya diam. Laki-laki itu menunduk dalam. Dan hal itu membuat Nevan menyadari bahwa Adriell tidak akan membalas ucapannya. Oleh karena itu, Nevan menghela napas dan langsung membalik tubuhnya.

Sekali lagi, Nevan menoleh. Bisa saja Adriell berubah pikiran 'kan? Namun, saat melihat posisi Adriell masih sama, Nevan kembali melanjutkan jalannya ke luar ruangan.

"Gimana, Van?" Baru saja Nevan sampai di depan ruang rawat, Nada―yang sedari tadi menunggu di depan, langsung bertanya.

Nevan menggeleng pelan. Ia menutup pintu. "Begitulah, Bun," jawab Nevan, "aku salah omong tadi."

Nada sedikit berjinjit untuk mengacak rambut Nevan. "Kebiasaan, ya, kamu. Makanya kalau ngomong itu disaring dulu," ujar Nada, "kamu tahu 'kan kalau Adriell masih ada di tahap denial, bahkan di tahap anger. Lebih sensitif gitu perasaannya."

"Kayak cewek PMS, Bun?" tanya Nevan polos.

Nada mencubit pipi Nevan gemas, lalu memeluk lengannya. "Kenapa pakai perumpaannya gitu, sih?"

Nyengir lebar, Nevan mulai berjalan menjauh. Nada hanya mengikuti langkah lebar Nevan, meskipun ia harus sedikit mempercepat langkahnya.

"Tapi, kayaknya aku nggak separah itu, deh. Aku 'kan juga sakit. Malah sejak kecil banget. Sejak aku masih nggak tahu apa-apa, sampai sekarang. Dan aku nggak se-lebay itu." Nevan berucap. Kedua manik matanya menerawang.

Nada menoleh, menatap Nevan. Ia mempererat pelukannya pada lengan laki-laki itu. "Ya 'kan kalau kamu itu beda," balas Nada, "lagipula, Van, tiap orang itu punya reaksi yang berbeda-beda terhadap sesuatu. Kamu biasa aja, dia belum tentu biasa aja. Itu udah sifatnya manusia, unik. Tiap individu sama individu lain itu berbeda."

Nevan berpikir untuk sesaat. "Ya, tapi 'kan―"

"Nggak usah nyanggah lagi. Kamu, tuh, hobi banget ngebuat semuanya jadi rumit." Untuk kesekian kalinya di hari ini, ucapan Nevan dipotong oleh orang lain.

Nevan terkekeh pelan. Lalu, senyum tipisnya terbit. "Iya, Bun."

*****

A/n

Halo!

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang