Kedua netra Adriell menatap Nevan yang sedang melakukan terapi dari kaca yang terhubung langsung ke dalam. Ia menelan salivanya dengan susah payah. Di dalam sana, Nevan tampak kesulitan. Dan entah kenapa, Adriell seperti merasakan hal yang sama.
Ia menunduk, menatap kedua kakinya. Dalam hati, Adriell bersyukur karena anggota tubuhnya masih dapat digunakan seperti biasa. Meski paru-parunya makin lama makin memburuk, setidaknya, hal itu tidak lebih buruk dibanding tidak dapat bergerak bebas.
"Bunda," panggil Adriell pelan. Ia menatap Bunda yang sedang menatap ke dalam ruangan dengan tatapan sendu. Di sebelahnya, Nada tampak tersenyum senang.
Ah, mendadak, Adriell jadi iri dengan Nevan. Banyak orang yang mendukungnya. Banyak orang yang menaruh harapan padanya.
Nevan, laki-laki pintar yang ahli hampir di semua mata pelajaran. Ditambah lagi dengan kemampuannya bermain musik menjadi poin plus yang ada pada dirinya. Oh, jangan lupakan kemampuan memasaknya yang cukup membuat Adriell berpikir untuk memacarinya jika ia adalah seorang perempuan.
Jika dibandingkan dengan Nevan, Adriell itu ... seolah tidak ada apa-apanya.
"Boleh aku ajak Nevan ke taman setelah ini?" tanya Adriell.
Ia ingin memperbaiki semuanya. Hanya karena rasa iri. Hanya karena hidup Nevan yang tampak sempurna bagi Adriell. Hanya karena di mata Bunda ... Adriell hanyalah bayang-bayang seorang Nevan.
Bunda menatap Adriell tak percaya. Begitu pun dengan Nada. Mereka berdua tahu, Adriell tidak akan mau hanya berdua dengan Nevan.
"Mau apa?" Bukan Bunda yang bertanya, tapi Nada. Suaranya terdengar sinis. Sepertinya, karena kejadian tempo lalu pula, membuat kebencian di hati Nada terhadap Adriell makin membesar.
"Cuma mau ngajak jalan-jalan, Tante," jawab Adriell. Ia mengangkat kepalanya, berusaha menampilkan wajah paling meyakinkan yang ia miliki. "Aku janji, aku bakal jagain Nevan. Mau gimanapun juga, Nevan adik aku."
Nada diam sejenak. Berusaha memikirkan, jika ia mengizinkan Adriell untuk membawa Nevan, apa yang akan terjadi? Nada takut, sesuatu yang buruk akan terjadi pada putra semata wayangnya itu.
Pada akhirnya, Nada mendesah pelan. "Oke. Sebentar. Asal kamu harus bisa janji, Nevan nggak bakal kenapa-napa."
Senyum tipis Adriell terbit. "Oke, Tante. Aku janji."
***
Sejak Adriell mendorong kursi rodanya, Nevan sudah curiga dengan apa yang akan kakak kembarnya itu lakukan. Tangannya bergerak perlahan, menunjukkan kode untuk berhenti. Dan Adriell, yang sedari tadi diam di belakang punggung Nevan, mengerti hal itu. Ia lantas berhenti mendorong kursi rodanya.
Saat ini, Nevan dan Adriell berada di taman rumah sakit. Nevan menyernyit heran. Tidak biasanya Adriell bersikap tenang seperti ini.
"Ka-kak?" panggil Nevan pelan.
Adriell mengerjap sesaat. Ia berlutut di hadapan Nevan. Sementara Nevan menatapnya heran. Tanda tanya terlihat jelas memenuhi manik matanya.
"Maaf." Adriell membuang pandangannya.
Keterkejutan tampak jelas di wajah Nevan. Kenapa tiba-tiba Adriell meminta maaf? Seingat Nevan, Adriell adalah seseorang yang sangat jarang untuk meminta maaf.
"Ke-na-pa?" tanya Nevan heran. Matanya tak lepas dari wajah Adriell yang tampak memerah. "K-Kak?"
"Nggak usah tampilin muka sok bodoh gitu!" Adriell berseru, membuat Nevan mengerjap. "Lo nggak dengar? Gue mau minta maaf!"
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018