e n a m . d u a

7K 631 21
                                    

Sebagai seorang anak, Nevan pasti ingin diperhatikan oleh kedua orang tuanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebagai seorang anak, Nevan pasti ingin diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Ralat, oleh kedua orang tua kandungnya. Karena saat ini, yang benar-benar menjadi pendukungnya adalah Nada, wanita yang dinikahi Ayah hampir dua tahun yang lalu. Seseorang yang saat ini justru lebih dekat padanya, dibanding ibu kandungnya.

Bunda Nada: Jangan lupa makan siang, jangan ceroboh, jangan lupa salat. Bunda nggak mau dengar kamu kenapa-napa lagi.

Nevan menghela napas. Ia kembali menyimpan ponselnya di dalam saku jas almamater berwarna abu-abunya. Kedua manik matanya kembali memerhatikan guru fisikanya yang sedang menjelaskan di depan kelas.

"Nevan, ngelamun aja. Kenapa?"

Sebuah suara membuyarkan lamunan Nevan. Ia menoleh, menatap seorang perempuan yang duduk di sebelahnya. Menyadari bahwa perempuan itu menatap Nevan dengan khawatir, ia lantas menyunggingkan senyum lebar.

"Aku nggak apa-apa, kok, Ray," jawab Nevan singkat. Ia kembali menatap papan tulis, kemudian menulis di buku catatannya.

Raya, perempuan yang duduk di sebelah Nevan, lantas menyernyit heran. Baru kali ini ia melihat laki-laki itu tampak begitu murung. Ditambah lagi, beberapa kali Nevan mengintip ponselnya, meskipun masih ada guru mengajar di depan.

"Nevan lagi ada masalah? Kamu bisa cerita ke aku. Daripada dipendam sendirian," ucap Raya.

Nevan menggeleng pelan. Ia masih fokus menulis di bukunya. Senyum tipis tersampir di bibirnya. Lalu, saat merasa Raya masih saja memerhatikannya, Nevan berhenti menulis dan menoleh.

"Aku 'kan udah bilang, Ray. Aku nggak apa-apa. Percaya, deh, sama aku." Nevan berucap dengan wajah yang paling meyakinkan. Ia menatap manik mata Raya agar perempuan itu lebih yakin.

Raya mencebikkan bibirnya. Ia membuang pandangannya. "Kalau kamu emang nggak apa-apa, kenapa dari tadi ngelamun gitu? Aku perhatiin, pandangan kamu kosong. Kamu ngeliatin papan tulis, tapi aku tahu, pikiran kamu ke mana-mana."

Nevan menghela napas. Ia tahu, dirinya tidak akan bisa berbohong di depan Raya.

"Cuma kangen Bunda," jawab Nevan pada akhirnya. Ia tidak berani menatap Raya. Takut perempuan yang sudah Nevan anggap sebagai adiknya sendiri itu melihat matanya mulai berkaca-kaca. "Kemarin emang Bunda sempat datang ke ruang rawat aku, tapi cuma sebentar."

Mendengar jawaban jujur Nevan, Raya lantas menepuk pundak laki-laki itu. Ia tidak lagi mendengarkan guru yang sedang mengajar di depan. Rasanya, Raya ingin menenangkan Nevan, namun ia tidak tahu caranya. Raya tidak tahu bagaimana rasanya menjadi seorang Nevan. Dan Raya tidak mungkin asal bicara.

"Aku kadang mikir, kehadiranku itu berarti nggak, sih, buat Bunda?" Nevan melanjutkan. Ia berpura-pura menulis di buku agar tidak terlarut dalam rasa sedihnya. "Aku juga kadang mikir, Bunda Nada yang jelas-jelas ibu tiri aku, lebih perhatian daripada Bunda."

Mendadak, kesedihan yang Nevan rasakan menular. Raya dapat merasakan kesedihan yang mendalam pada diri Nevan. Tidak seperti biasanya di mana Nevan lebih memilih untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya, kali ini  lebih mrmilih untuk jujur.

Dan Raya tidak siap.

Raya tidak siap untuk melihat Nevan yang selama ini selalu tersenyum hangat, yang selama ini selalu berusaha untuk menguatkan Raya setiap ia ada masalah, menjadi terpuruk.

"Makasih udah mau ngedengerin cerita singkat aku, Ray." Nevan meletakkan pulpennya. "Aku lega. Serius. Selama ini, aku berusaha buat nutupin semuanya sendiri."

Nevan tersenyum lebar, membuat Raya ikut tersenyum. Hingga sebuah suara membuat senyum keduanya memudar dengan wajah yang memucat.

"Nevan, Raya, sudah selesai ceritanya?"

*****

A/n

Kenapa pada jadi tim Nevan, sih? Heran wkwkwk.

Puk-puk Adriell.

Aku besok ke rumah sakit, lho! Doain aku, ya.

Biar bisa ketemu dokter ganteng.

Ehehehe.

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang