Suasana ruangan yang gelap langsung Adriell dapatkan saat ia membuka pintu utama. Adriell mengerjap sesaat, berusaha untuk menyesuaikan dengan kegelapan yang ada di dalam ruangan.
Ketika pada akhirnya mata Adriell berhasil menyesuaikan keadaan rumah, ia dapat melihat sosok seorang wanita yang berbaring di atas sofa. Senyum sendu Adriell terbit. Ia melangkahkan kakinya perlahan, menghampiri seseorang yang paling ia cintai di hidupnya itu.
Bunda ....
Tangan Adriell mengusap pipi Bunda. Guratan halus terlihat di wajahnya yang mulai menua. Entah sudah berapa lama Adriell tidak memerhatikan wajah Bunda secara mendetail. Dan hal itu malah membuat Adriell semakin bersedih.
Adriell berjalan dengan cepat ke kamar Bunda. Tak lama, ia ke luar dengan selimut tebal di tangannya. Segera saja Adriell menutupi tubuh Bunda dengan selimut. Kemudian, Adriell duduk di lantai. Sebisa mungkin, Adriell merekam wajah Bunda.
Tetapi, sepertinya, pergerakan Adriell cukup membuat Bunda terganggu. Karena setelahnya, Bunda bergerak gelisah, lalu membuka matanya. Ia mengerjap sesaat sebelum akhirnya menatap Adriell dengan tatapan matanya yang lembut.
"Hei," sapa Bunda singkat. Ia bangkit dan bersandar di sandaran sofa.
"Bunda ...." Adriell meraih kedua tangan Bunda dan digenggamnya dengan erat. "Maafin aku ...."
Bunda melepaskan genggaman tangan Adriell. Ia memegang kedua pundak putranya itu, lalu menyuruhnya untuk bangkit dan duduk di sofa. Kemudian, keheningan kembali menyelimuti.
Adriell bergerak, melingkarkan kedua lengannya pada tubuh Bunda. Ia meletakkan dagunya di atas pundak Bunda. Hal itu cukup membuatnya merasa nyaman.
"Bunda," panggil Adriell pelan. Bunda hanya diam, tidak menjawab sama sekali. "Kalau aku suatu hari nanti aku capek, aku boleh tidur 'kan?"
***
Ketika Adriell membuka matanya, hal yang pertama kali didapatinya adalah langit-langit kamar berwarna abu-abu. Tubuhnya ditutupi oleh selimut berwarna senada. Saat itu pula, Adriell sadar bahwa ia berada di kamarnya. Apa Bunda yang membawanya ke sini?
Adriell mendudukkan tubuhnya. Ia mengambil segelas air yang berada di atas nakas, dan diteguknya hingga habis. Manik matanya melirik jam yang menempel di dinding. Pukul empat pagi. Pantas saja suasana di luar kamar masih tampak gelap.
Mengusap kelopak matanya, Adriell lantas bangkit. Masih agak lama sebelum waktunya salat subuh, dan ia tidak bisa tidur kembali. Akhirnya, Adriell berjalan menuju balkon.
Udara dingin langsung ia rasakan begitu Adriell membuka pintu balkon. Ia lantas memeluk tubuhnya sendiri, berusaha menghalau rasa dingin. Tetapi tetap saja, tubuhnya merasa dingin.
Adriell melangkahkan kakinya menuju bangku dan duduk di sana. Ia menyandarkan tubuhnya. Matanya terpejam erat. Meski beberapa kali terbatuk, Adriell tidak juga berpindah dari posisinya. Ia berharap dapat tertidur kembali di sana.
Tetapi tetap saja, Adriell tidak bisa tidur. Matanya kembali terbuka. Ia menatap langit yang tampak mendung.
Hingga tiba-tiba, seseorang meletakkan selimut yang biasa dipakainya ke atas kepala. Dengan kelopak mata yang terbelalak, Adriell menengok ke belakang. Ia sudah mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan terburuk, termasuk mendapati makhluk halus di belakangnya.
Ketika sepenuhnya menengok ke belakang, Adriell mendapati seorang pria yang usianya tak jauh dari Bunda, berdiri di belakangnya. Ternyata, yang meletakkan selimut ke atas kepala Adriell adalah Chiko, ayah tirinya.
Senyum Adriell terbit. Ia menarik selimut yang ada di kepalanya hingga ke pundak. Sementara Chiko duduk di hadapan Adriell. Kedua manik matanya menatap laki-laki yang sudah dianggapnya sebagai darah dagingnya sendiri itu.
"Nggak tidur?" tanya Chiko penasaran, "oh, atau malah udah bangun?"
"Ayah sendiri nggak tidur? Atau udah bangun juga?" Bukannya menjawab pertanyaan Chiko, Adriell malah balik bertanya.
"Gimana Ayah bisa tidur kalau dengar suara batuk kamu yang menyakitkan itu?" Chiko tertawa pelan. Ia menepuk pundak Adriell. "Jangan ke luar gini, deh. 'Kan dingin. Kasian kamunya juga."
Adriell nyengir. Ia menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, kecuali kepala.
"Nggak apa-apa, aku cuma lagi pengin duduk sendiri aja," jawab Adriell.
"Oh, jadi Ayah ngeganggu, nih?" Chiko menunjukkan wajah sok terluka. Ia meraih dadanya dan menunduk. "Oke, Ayah pergi." Ia hendak bangkit.
"Ehhh, bukan gitu maksud aku." Adriell menahan pergelangan tangan Chiko. "Aku nggak masalah, kok, ada Ayah di sini."
Chiko tersenyum geli dan kembali duduk di hadapan Adriell. "Ngomong-ngomong, Dri." Adriell menatap Chiko. Ia menaikkan sebelah alisnya. "Kamu masih pengin jadi dokter spesialis?"
Kedua manik mata Adriell berbinar. Ia mengangguk cepat. "Masih! Masih banget!"
"Ayah dengar dari Bunda, kamu mau nyerah lagi?" tanya Chiko. Suaranya terdengar lembut, namun cukup membuat Adriell menelan salivanya gugup. "Terus, gimana sama mimpi kamu?"
Adriell melirikkan matanya ke arah lain. Dinginnya angin yang berembus tidak lagi ia rasakan. Suara orang mengaji mulai terdengar dari masjid. Adriell lantas melepaskan selimut dari tubuhnya.
"Ayah nggak ke masjid? Udah mau subuh, nih," ucap Adriell, berusaha mengalihkan obrolan.
Chiko yang tahu bahwa Adriell tidak ingin menjawab pertanyaannya, lantas tersenyum. Tidak mungkin ia melanjutkan pembicaraan jika yang diajak bicara saja tidak mau menjawab. Chiko lantas bangkit. Ia menepuk pundak Adriell.
"Ini mau berangkat. Kamu mau ikut?"
Adriell mengangguk pelan. "Iya, aku mau ikut."
*****
A/n
Halo!
Jadi, aku lagi stress. Bener-bener stress. Sampai-sampai, aku gampang banget nangis hari ini.
Ehe. Enjoy, Guys!
Btw, aku sama Kak Dekka_bikin cerita, lho! Cek, yuk! Judulnya 10:10. Hope u like it!
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018