Hal yang pertama kali menyambut Adriell saat ia membuka pintu kamarnya adalah kegelapan.
Tanpa menyalakan lampu, Adriell langsung berbaring di atas kasur. Ia bahkan tidak melepas jaketnya terlebih dahulu. Rasa lelah dan sesak di dadanya cukup membuat Adriell tersiksa. Ia berusaha memejamkan matanya, namun tidak bisa.
Sialnya, Bunda belum pulang. Ayah juga belum pulang. Dan saat ini, Adriell berada di rumah seorang diri. Benar-benar menyebalkan.
Adriell terbatuk beberapa kali. Ia meraih segelas air yang berada di atas nakas dan diteguknya hingga tandas. Meskipun sebenarnya hal itu tidak terlalu berpengaruh. Tubuhnya mulai basah bermandikan keringat dingin.
Salah satu kesalahannya adalah pulang terlalu malam. Hanya karena ingin menjahili saudara kembarnya. Adriell tidak mengira bahwa jalanan menjadi lebih padat. Dan hal itu membuatnya pulang lebih malam lagi.
Padahal, Bunda sudah mewanti-wanti agar Adriell tidak pulang terlalu malam. Adriell sendiri seharusnya juga menyadari bahwa tubuhnya sudah tidak seperti dulu lagi. Ia tidak bisa seenaknya saat ini.
Adriell menarik napas panjang, kemudian diembuskannya perlahan. Ia meletakkan gelas yang sudah kosong, lalu kembali berbaring di atas kasur. Napasnya masih terengah. Wajahnya tampak pucat, benar-benar pucat. Kedua manik mata Adriell yang mulai berair menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Tidak ada suara selain suara napas Adriell yang menyesakkan.
Tanpa bisa Adriell tahan, cairan bening mulai mengalir dari sudut matanya. Ia melepas kacamatanya, lalu dilemparnya sembarangan. Kedua tangan Adriell mengusap sudut matanya dengan kasar, tidak sekalipun membiarkan cairan itu membasahi pipi tirusnya.
Mulut Adriell sedikit terbuka. Ia berusaha untuk meraup oksigen sebanyak-banyaknya, namun gagal. Oksigen seperti ditarik dari sekitarnya.
Rasa sesal kembali merasuki dadanya. Bersama dengan rasa sakit yang terus saja menghujam.
Pandangan Adriell mulai memburam. Indera pendengarannya masih dapat mendengar suara pintu yang terbuka, namun Adriell tidak merespon sama sekali. Seseorang mengguncangkan tubuh Adriell dengan kuat. Memanggil namanya berkali-kali.
Maaf, Bunda ....
"Adriell, lihat mata Bunda, Sayang."
Pada akhirnya,
"Adriell ... kamu dengar Bunda 'kan?"
jika harus menjalani hidup dengan rasa sakit seperti ini,
"Tahan sebentar, Sayang, sebentar―Adriell! Buka mata kamu! Adriell ... jangan ...."
bukankah kematian menjadi jalan keluar terbaik?
***
Langit-langit putih menjadi penyambut ketika Adriell membuka kelopak matanya. Ia melirikkan netranya, dan mendapati Bunda tertidur dengan kepala yang ditelungkupkan di atas bed. Rasa sesak yang tadi malam Adriell rasakan sudah mulai berkurang. Kebutuhan oksigennya pun terpenuhi karena saat ini, nasal kanul dengan aliran udara sedang menempel di hidungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018