e n a m b e l a s . d u a

5.7K 519 11
                                    

Sejak pagi tadi, Nevan kehilangan kesadarannya. Kondisi vitalnya menurun hingga ia harus dipindahkan ke ICU agar dapat dipantau secara intensif.

Nada sedari tadi menangis di ruang tunggu, ditemani oleh Ayah yang terus mengusap punggungnya dengan lembut. Ia sama sekali tidak dapat menahan kesedihannya. Meski terus mendapat tatapan penuh empati dari orang-orang yang melewatinya, Nada tidak peduli.

Padahal, tadi Nada sedang mengobrol santai dengan Nevan, membicarakan banyak hal. Ia sedang menikmati waktu bersama putranya itu. Meski laki-laki itu hanya dapat menjawab dengan jawaban singkat, anggukan, atau hanya sekadar tersenyum.

"Bunda ... ke-napa sa-yang ... aku?"

Di tengah pembicaraan hangat antara Nada dan Nevan, pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar dari bibir Nevan.

"Kalau Bunda bilang, Bunda sayang sama kamu tanpa alasan, bagaimana?"

Nevan tampak menampilkan senyum tipis. Sinar matanya tampak begitu menenangkan pagi hari itu. Membuat Nada betah berlama-lama menatapnya.

"Bun, a-ku sa-yang B-Bun-da."

"Iya, Bunda juga sayang sama kamu."

"Bun, a-ku ... ca-pek."

Nada tidak pernah tahu, jika itu adalah perkataan terakhir dari Nevan sebelum ia benar-benar kehilangan kesadarannya. Nada yang panik segera memanggil dokter dan perawat. Kakinya seperti melemah. Ia hampir saja tidak dapat menahan bobot tubuhnya sendiri jika Ayah tidak ada di sana dan menahannya.

Tangis Nada semakin menjadi-jadi. Ia takut. Tubuhnya bergetar hebat di dalam rengkuhan Ayah. Nada takut suatu hal yang buruk akan terjadi.

Nada takut kalimat itu benar-benar menjadi kalimat terakhir yang Nevan ucapkan.

Nada terlalu takut untuk merelakan Nevan. Ia tidak ingin kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya.

"Bunda, boleh aku minta sesuatu?"

"Apa itu?"

"Tolong, relakan aku, Bun."

*****

A/n

Jujur, aku berat sendiri nulis ini :")

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang