Satu Hari Sebelum Kepergiannya

5.8K 503 46
                                    

Nisa masuk ke dalam ruang ICU setelah mengenakan alat pelindung dirinya. Guratan senyum yang ada di dekat matanya terlihat, menandakan saat ini ia sedang tersenyum pada laki-laki yang terbaring di atas bed dengan mata tertutup rapat. Perlahan, Nisa berjalan mendekat.

Berdiri di sisi kanan Nevan, ia meraih tangan dingin putranya itu perlahan. Tangan Nisa yang bebas mengusap surai hitamnya dengan lembut. Matanya menyusuri setiap permukaan wajah pucat Nevan. Untuk pertama kalinya, Nisa benar-benar memerhatikan wajah itu. Permukaan bola mata Nisa mulai digenangi likuid bening. Ia lantas mengusap kedua netranya. Sambil berharap air matanya tidak menetes di hadapan putranya ini.

Senyum Nisa terbit. "Hai, Sayang," sapanya, meski tahu Nevan tidak akan membalas. Tetapi, Nisa juga tahu bahwa laki-laki itu pasti mendengarkan setiap perkataannya.

"Lama banget, sih, kamu tidurnya. Emangnya, kamu nggak kangen sama Bunda?" tanya Nisa lirih. Matanya terpejam. Nisa berharap, ketika ia membuka matanya, Nevan sudah bangun, tersenyum lembut seperti biasa ke arahnya.

Tapi sayang, harapannya tidak terkabul. Nevan masih bergeming di tempatnya. Masih dengan mata terpejam dan bibir terkatup rapat. Laki-laki itu tampak tenang. Dan Nisa tidak berani untuk mengganggu tidur panjangnya.

"Tahu nggak, Van? Kemarin, kamu dicariin, lho, sama teman-teman kamu. Banyak yang pengin ketemu kamu. Banyak yang doain kamu biar kamu bisa cepat sembuh. Banyak yang kangen sama kamu," lirih Nisa. Sejenak, Nisa terdiam. "Kamu ... nggak berniat buat bangun?"

Kali ini, Nisa tidak dapat menahan tangisnya. Rasanya begitu menyesakkan ketika melihat putranya tampak tak berdaya. Nisa membekap bibirnya.

"Kenapa kamu jahat sama Bunda?" tanya Nisa, lebih ke dirinya sendiri, "Bunda tahu Bunda salah karena udah ninggalin kamu. Bunda salah karena Bunda berusaha buat ngelupain kamu. Tapi ... jangan begini. Bunda ... nggak suka."

Niaa mulai terisak. Ia tidak peduli lagi dengan air mata yang meleleh membasahi pipinya, hingga akhirnya mengenai permukaan selimut yang Nevan gunakan.

"Nevan, bangun!"

Mau sekuat apapun juga Nisa berteriak, Nevan tetap saja tidak mau membuka matanya. Ia seperti tidak ingin melihat indahnya dunia kembali.

Nisa meluruh. Ia berkali-kali memanggil nama Nevan dengan kuat. Tetapi, laki-laki itu tampak tidak peduli.

"Katanya kamu mau masakin Bunda lagi. Kalau kamu nggak bangun juga, gimana caranya?" Nisa bergumam lirih. "Gimana caranya kita mau jalan-jalan bareng lagi? Kamu janji kalau kamu bakal pulih! Mana janji kamu?!"

"Bunda, maaf."

Hingga tiba-tiba, suara Nevan terdengar. Nisa lantas membuka matanya. Ia memerhatikan sekeliling. Tidak ada siapapun. Nevan pun masih terbaring di atas bed. Matanya masih terpejam erat.

"Aku capek, Bunda. Boleh aku istirahat sekarang?"

Nisa menggeleng cepat. Tubuhnya bergetar.

"Bunda jangan bangunin aku, ya."

Dengan berat hati, Nisa mengangguk pelan.

"Janji?"

Sekali lagi, Nisa mengangguk. Ia bangkit dan mengecup kening Nevan dengan lembut.

"Terima kasih, Bun. Aku sayang Bunda."

*****

A/n

Maaf Tim Nevan :")

By the way, kenapa pada nebak kalau Adriell yang mati duluan?

Terus, apa hubungannya dengan kakak dan mati duluan?

Tolong jelaskan padaku :")

Yang berharap ini mimpi, maaf :")

Enjoy!

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang