"Hatchim!"
Adriell yang duduk di sebelah Shyra langsung berhenti memakan cream soup-nya ketika tiba-tiba saja perempuan itu bersin. Manik matanya menatap Shyra yang sedang mengusap hidungnya yang memerah. Matanya tampak sayu dan berair.
"Lo baru kehujanan dikit, udah sakit, Ra?" Tangan Adriell terangkat. Dengan punggung tangannya, ia menyentuh kening Shyra. Hawa panas langsung terasa menjalar. "Lo demam."
Shyra mengerucutkan bibirnya. Ia menyuapkan sesendok cream soup ayam yang masih hangat itu ke dalam mulutnya. "Gue emang udah ada gejala flu sejak semalam. Ditambah tadi nggak sengaja keujanan," balas Shyra. Ia menarik selembar tisu yang ada di dekatnya, lalu mengusap hidungnya.
Adriell berdeham pelan. "Lo istirahat di kamar gue, gih. Gue pinjemin baju ke Bunda, ya."
Shyra menggeleng pelan. Meski kepalanya terasa sedikit pening, sepertinya ia akan menyulitkan jika berada di sana. Karena Shyra tahu, ia adalah tipe orang yang cerewet ketika sedang sakit.
"Nggak usah. Gue bisa minta jemput, kok," balas Shyra, "lagian juga, pasti gue ngerepotin kalau di sini."
Adriell berdecak beberapa kali. Ia menepuk puncak kepala Shyra. "Istirahat dulu, baru pulang. Lo pasti lagi pusing sekarang. Muka lo juga pucat." Adriell menjawil hidung Shyra. "Nih, hidung lo, nih. Merah banget."
Mendengkus pelan, Shyra menepis tangan Adriell. "Iya, iya. Gue tidur dulu."
Lalu, Adriell tersenyum tipis dan lanjut memakan cream soup-nya.
***
Perlahan, Adriell membuka pintu kamar Nisa. Ia menatap Nisa yang sedang merapikan kerudung putihnya. Nisa sudah siap dengan pakaian dinasnya.
Adriell masuk ke dalam kamar Nisa dan duduk di atas ranjang. Matanya memerhatikan wajah Nisa dari pantulan di cermin. Wajah itu tampak lelah. Matanya tampak sembap.
Menyadari bahwa Adriell duduk di belakangnya, Nisa lantas tersenyum. Dan membalik tubuhnya. Ia menghampiri Adriell dan duduk di sebelah laki-laki berjaket abu-abu itu. Tangan Nisa mengusap puncak kepalanya yang hampir tidak berambut.
"Kenapa, Sayang?" tanya Nisa. Suaranya terdengar lirih. Ia dapat merasakan adanya Nevan di dalam diri Adriell.
"Itu, Bun, Shyra mau minjam baju Bunda. Boleh?" tanya Adriell, "kasian, bajunya agak basah gara-gara kehujanan."
Nisa tersenyum geli. Ia bangkit dan berjalan menuju lemari pakaian. Setelah membuka pintu, Nisa melihat baju yang sekiranya layak untuk Shyra. Hingga akhirnya, pilihannya jatuh pada piyama merah bergambar penguin yang seingatnya sudah lama tidak dipakai. Segera saja Bunda mengambil piyama itu dan memberikannya kepada Adriell.
"Nih."
Adriell tersenyum lebar. Dulu, ia sangat suka ketika Nisa mengenakan baju itu. Alasannya simpel. Karena Adriell menyukai burung laut keluarga Spheniscidae yang tidak bisa terbang itu.
Selain itu, sebelum bercerai, Nisa dan Rafa, mantan suaminya, sering memakai piyama sejenis.
"Cepat kasih. Kasian Shyra kedinginan," ucap Bunda, menyadarkan lamunan Adriell.
Adriell nyengir dengan tangan yang memeluk piyama merah itu. Ia bangkit dari ranjang dan mengecup pipi Nisa sejenak sebelum akhirnya keluar dari kamar.
Segera saja, Adriell menghampiri Shyra yang berdiri di depan kamar. Ia menjulurkan piyama merah itu dan berkata, "gih, ganti baju."
Shyra tersenyum lebar dan masuk ke kamar Adriell. "Jangan masuk!" Lalu menutup pintu rapat-rapat.
Adriell menghela napas dan mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit bernuansa putih. Senyumnya terbit. Ia bersandar di samping pintu dan menunggu.
***
Ketika Adriell membuka pintu, keheningan langsung ia dapati. Senyum tampak di wajahnya yang pucat malam ini. Matanya menyusuri seisi ruangan. Lalu, berhenti ketika mendapati Shyra tertidur di atas tempat tidur.
Tanpa menutup pintu, Adriell melangkahkan tungkainya ke arah tempat tidur. Shyra masih tampak nyenyak dengan selimut yang melingkupi tubuhnya. Ia memeluk guling. Wajahnya tampak tenang dengan hidung yang memerah itu.
Adriell merapikan selimut yang melingkupi tubuh Shyra dan duduk di sebelahnya.
"Ra, gue mau cerita, tapi gue takut." Adriell berujar, seolah sedang berbicara dengan Shyra. "Sebenarnya, gue ngerasa aneh sama tubuh gue sendiri. Rasanya ... sakit banget. Rasanya ... gue pengin mati aja.
"Sejak kemarin, Ra, selain paru-paru gue yang rasanya sakit plus sesak banget, kaki gue juga sakit. Banget-bangetan, sampe rasanya pengin gue lepas aja ini kaki." Adriell tersenyum sendu. Ia menatap tangannya yang saling menggenggam. "Sejujurnya, gue takut, Ra. Gue takut kalau penyakit gue makin lama makin menyebar. Gue nggak bisa ngebayangin harus ngerasain rasa sakit yang lebih dari ini.
"Udah banyak uang yang orang tua gue keluarin buat pengobatan gue. Dan hal itu ngebuat gue makin menyesal, Ra. Gue menyesal karena gue nggak ngedengerin lo. Gue menyesal karena justru masuk ke pergaulan yang salah itu." Nada suara Adriell terdengar lirih.
"Andai gue nggak pernah ngelakuin semua itu, Ra---" Adriell mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit kamar. Bayang-bayang mengenai dirinya di masa lalu terlintas di benaknya. Membuatnya makin merasa menyesal. "---mungkin aja, sekarang nggak gini keadaannya. Mungkin aja ... kita masih bisa jalan-jalan kayak biasa."
Adriell tertawa lirih. Ia tidak bisa menahan likuid bening yang mengalir dari sudut matanya.
"Gue pengin nepatin semua janji gue buat lulus bareng lo, Ra. Tapi gue takut ...." Adriell menggigit bibir bawahnya sejenak. "Gue takut gue nggak bisa nepatin janji gue. Gue takut gue kehabisan waktu sebelum saat itu tiba.
"Ah, gue jadi menyesal karena udah pernah menjanjikan hal kayak gitu. Seharusnya gue sadar kalau gue nggak bakal bisa nepatin hal itu."
Adriell menatap Shyra yang masih tampak nyenyak dalam tidurnya.
"Gue kayaknya nggak pernah ngomong ini. Gue suka sama lo. Hehe. Tapi ... gimana, ya? Gue nggak pernah mau buat ngungkapin hal itu karena gue udah telanjur nyaman ada di zona sahabat sama lo. Selain itu, rasanya nggak lucu aja kalau gue sama lo jadian. Ditambah lagi, gue tahu kalau Nevan juga suka sama lo. Masalahnya, ini bukan novel lo yang pemeran utamanya diperebutkan sama dua cowok yang saudaraan." Lagi-lagi, Adriell terkekeh pelan.
"Kalau gue minta ke lo buat nggak ninggalin gue gimana?"
Tidak ada jawaban. Hanya suara gemuruh yang sesekali terdengar mengisi suasana.
"Gue nggak berharap, sih. Cuma ... lo tahu, semenjak gue sakit, gue jadi jarang sekolah. Dan teman gue ... banyak yang ninggalin gue." Adriell mengusap wajahnya. "Lucu nggak, sih? Mereka mengaku kalau mereka itu teman gue. Beberapa bilang kalau gue sahabatnya. Tapi ... nyatanya apa?"
Menghela napas lelah, Adriell bangkit dari ranjang. "Kalau lo dengar, Ra, cepat bangun, ya. Bunda tadi sempat nyiapin makan malam buat kita. Makasih sudah mau ngedengerin gue." Kemudian, Adriell berjalan ke luar kamar, tidak lupa untuk menutup pintu.
Tanpa Adriell sadari, sedari tadi, Shyra mendengarkan. Ia hanya menutup matanya. Tetapi, Shyra sudah bangun, sejak Adriell menjejakkan kakinya di dalam kamar.
*****
A/n
Halo! Tahu ga sih, aku ngantuk banget. Ingin pulang tapi masih rapat di kampus.
Btw, enjoy!
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018