s e b e l a s . d u a

5.6K 545 12
                                    

Nada membetulkan posisi kepala Nevan, lalu kembali duduk di bangku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nada membetulkan posisi kepala Nevan, lalu kembali duduk di bangku. Ia tersenyum tipis saat melihat laki-laki itu tampak lebih segar hari ini. Kedua manik mata itu kembali bersinar, meski sinarnya tampak redup.

"Nah, kalau gini 'kan kamu jadi keliatan cakepnya," puji Nada. Ia mengusap rambut tebal Nevan. "Pasti cewek-cewek bakal naksir sama kamu kalau gini."

Nevan tersenyum tipis. Ia tidak dapat mengalihkan pandangannya dari wajah Nada yang tampak bahagia hari ini.

Tadi, Nada mendadak masuk ke ruang rawat Nevan dengan cepat. Tangannya membawa sebuah tas kertas. Lalu, tak lama kemudian, Nada sudah mengeluarkan beberapa baju yang seingat Nevan tidak pernah dimilikinya. Ingin Nevan bertanya ada apa, tapi apa daya. Ia bahkan sulit mengucapkan satu kata pun.

"Hari ini, karena kamu bakal terapi dan kamu harus keliatan ganteng," ucap Nada semangat, "ditambah lagi, sekarang sembilan September! Ulang tahun kamu ke tujuh belas!"

Kelopak mata Nevan melebar. Ia tidak ingat bahwa hari ini adalah ulang tahunnya. Dan tentu saja ulang tahun saudara kembar fraternalnya.

"Handphone kamu bunyi mulu dari tadi pagi. Pasti dari teman-teman kamu. Mau Bunda bacain nggak?" Nada menawarkan diri. Ia sudah memegang ponsel milik Nevan di tangannya.

Nevan mengerjapkan matanya dua kali, sebagai jawaban tidak. Ia tidak ingin mendengarnya sama sekali. Takut rasa rindu untuk beraktivitas dengan teman-temannya semakin membuncah.

"Pertama! Ini dari ... oh! Raya! Dia ngirim pesan ke kamu. Wah, pakai capslock! Semangat sekali. Emotikon apinya juga banyak." Matanya menatap layar ponsel Nevan dengan jari yang terus menggulir layar.

Ah, percuma saja Nevan menjawab tidak. Nyatanya, Nada tetap saja akan membacakannya. Rasanya, Nevan ingin langsung merebut ponsel dari genggaman Nada.

"Banyak yang kangen sama kamu, nih. Tuh, ada yang nyemangatin kamu." Nada mengusap surai Nevan. "Semangat, ya. Yang berharap kamu pulih itu banyak. Bunda, Ayah, teman-teman kamu, semuanya nunggu kamu."

Mendadak, bola mata Nevan berkaca-kaca. Ia merasa senang karena di balik semua masalahnya, ada orang yang mendukungnya.

"Oh, ada cewek, nih, yang ngirim pesan ke kamu. Bunda nggak pernah tahu. Kamu juga nggak cerita. Siapa, nih, namanya?" Senyum jahil Nada terbit. Ia menjawil hidung Nevan gemas. "Udah mulai genit, ya, sama cewek."

Wajah Nevan memerah. Ia melirik ke arah lain. Setidaknya, ia tidak melihat senyum jahil Nada yang akan membuatnya semakin malu.

"Lucu banget, sih, kamu," goda Nada. Jarang-jarang ia melihat wajah Nevan bersemu seperti itu. "Pantas aja banyak yang suka sama kamu."

Kelopak mata Nevan mengerjap dua kali. Kenapa, sih, Nada hobi menggodanya seperti ini? Apalagi jika bersama Ayah. Ugh, untunglah Ayah sedang bekerja hari ini. Jadi, godaannya tidak terlalu menyebalkan.

Terkadang, Nevan bersyukur ketika pada akhirnya Ayah dan Bunda bercerai. Hal itu membuat Nevan bertemu dengan Nada. Meski pada awalnya ia tidak setuju dan tidak pernah menganggap Nada sebagai ibunya.

"Hei, hei. Kamu kenapa nangis?" tanya Nada khawatir ketika melihat setetes likuid bening mengalir dari sudut mata Nevan. Ia mengusapnya perlahan. "Anak Bunda nggak boleh nangis, ya. Nanti Bunda ikut sedih. Kamu juga lagi ulang tahun hari ini. Kamu harus bahagia. Karena kalau kamu bahagia, kamu akan semakin sehat. Nanti, setelah terapi, Bunda bakal ajak kamu jalan-jalan. Kayak biasanya setelah kamu check up. Ya?"

Nevan memejamkan matanya perlahan, berusaha agar cairan itu tidak lagi keluar dari sudut matanya.

Iya, Bunda.

Terima kasih.

*****

A/n

Yah, aku juga mau bilang terima kasih buat semuanya :")

Dan maaf.

Karena aku ...

akan ...

Begitulah

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang