Adriell duduk di halaman belakang rumahnya. Dengan tangan yang menyangga tubuhnya, Adriell menatap langit yang mulai menggelap. Sesekali, ia menarik napas panjang, menikmati kebebasannya setelah selama seminggu lebih berada di rumah sakit.
Hari ini adalah hari kedua tanpa Nevan. Dan ia masih tidak menyangka bahwa saudara kembar fraternalnya itu sudah pergi jauh. Nisa masih saja mengurung diri di kamar, masih menangisi kepergian Nevan dan menyesali semuanya.
Entah kenapa, tiba-tiba saja Adriell terbayang saat terakhir dirinya melihat Nevan. Wajah itu tampak begitu dingin dan pucat. Sudah tidak ada lagi senyum sehangat mataharinya. Nisa di sisinya hanya dapat menangis dan seperti tidak dapat melepaskan salah satu putranya itu.
Lagi-lagi, Adriell menarik napas panjang. Ia merapikan kupluk jaket yang menutupi surai hitamnya yang menipis. Karena efek kemoterapi, ia harus rela kehilangan sesuatu yang merupakan kebanggaannya; rambut. Meski menyebalkan, mau bagaimana lagi?
Adriell berdiri, lalu merentangkan tangannya. Tepat saat itu, angin berembus kencang. Adriell mengangkat kedua sudut bibirnya.
"Adriell, Adriell!"
Adriell menoleh saat mendengar seorang perempuan memanggil namanya. Senyumnya tampak terbit saat melihat Shyra berjalan ke arahnya. Masih dengan seragam yang melekat di tubuhnya.
"Gue nyariin lo di kamar, ternyata di sini," ucap Shyra begitu ia tiba di hadapan Adriell, "gue pikir lo lagi istirahat. Seharusnya lo istirahat 'kan? Kenapa malah di sini?"
Adriell tersenyum tipis. Ia mengacak rambut Shyra yang sudah berantakan. "Bawel banget, sih."
Shyra merengut pelan. Tangannya meraih tangan Adriell yang ada di puncak kepalanya, lalu digenggam dengan erat. Sensasi dingin yang ada di tangan Adriell langsung terasa di telapak tangan Shyra. Perlahan, Shyra meringis.
"Tangan lo dingin banget," ujar Shyra"
"Hmmm, iya." Adriell bergumam pelan.
"Ke kamar, yuk!"
"E-eh? A-a-apa?" Wajah Adriell tampak memerah. Lalu, ia menggeleng cepat saat menyadari bahwa pikirannya sudah melantur ke mana-mana.
Shyra yang juga menyadari hal itu langsung menjewer daun telinga Adriell dengan kuat, hingga laki-laki itu berteriak kesakitan. Walau itu semua kesalahan Shyra yang sudah asal berbicara tanpa berpikir dulu sebelumnya. Wajah Shyra tampak ikut memerah malu.
"Aduh, aduh, aduh! Iya, maaf, maaf," ucap Adriell memohon. Shyra segera melepaskan jewerannya dari daun telinga Adriell, sementara Adriell langsung mengusap daun telinganya yang memerah.
"Makanya jangan mikir macem-macem!" seru Shyra kesal. Shyra duduk di rerumputan. Tidak peduli pada rok abu-abunya yang bisa saja kotor karena tanah. Lagipula, besok adalah hari Sabtu, dan Sabtu adalah hari mencuci.
Adriell ikut duduk di sebelah Shyra. Kedua kakinya ia lipat, lalu dipeluk dengan kedua lengannya. Tanpa sadar, Adriell tersenyum. Entah sudah berapa lama ia tidak bercanda dengan Shyra.
"Tahu nggak, sih, Dri." Shyra tiba-tiba bersuara. Adriell langsung menoleh, menatap Shyra yang sedang termenung menatap angkasa luas. "Baru sebentar Nevan nggak ada, dan gue udah berasa sepi banget."
Suara Shyra terdengar begitu lirih. Adriell tahu, Shyra benar-benar merasa kehilangan laki-laki itu. Dan hampir semua orang pun merasakan kehilangan.
Adriell sendiri jadi penasaran, bagaimana respon orang-orang terhadap kepergiannya suatu hari nanti? Apa orang-orang akan merasa kehilangan? Atau justru merasa biasa saja?
"Biasa nih, sore-sore gini, kalau gue lahi sedih dan nggak sengaja papasan sama Nevan pas mau masuk rumah, dia pasti nanya gue kenapa. Dan nggak berapa lama, dia datang, bawain masakan-masakan enak hasil buatannya sendiri." Shyra tersenyum tipis. Meski begitu, setets likuid bening berhasil lolos dari sudut matanya.
Mau bagaimanapun juga, Shyra merasa kehilangan seseorang yang penting di hidupnya. Seseorang yang selama ini selalu menghiburnya di kala ia merasa hancur. Meski kadang menyebalkan, tetapi hal-hal kecil seperti itu yang justru Shyra rindukan ketika laki-laki itu tiada.
"Gue nggak pernah kepikiran bakal kehilangan dia secepat ini. Gue sayang sama dia sebagai kakak gue. Lo tahu, Dri, bahkan malam-malam, pas gue sedih dan kebetulan dia tahu, dia datangin gue. Walau kadang cuma bawa roti bakar yang kebanyakan keju, gue senang." Shyra menggigit bibir bawahnya, suatu bentuk pencegahan agar ia tidak menangis.
"Gue nggak tahu siapa lagi yang bakal mau nemenin gue lagi malam-malam kalau lagi sedih. Gue nggak tahu siapa lagi yang mau nemenin gue ngitungin bintang kalau nggak bisa tidur." Kali ini, Shyra menunduk. Adriell tidak mengetahui bagaimana ekspresi Shyra saat ini. Perempuan itu benar-benar menutupi wajahnya, seolah tidak ingin Adriell melihat wajahnya.
"Nevan jahat, Dri. Dia ngasih gue banyak banget kenangan yang nggak bakal bisa gue lupain." Suara isakan mulai terdengar. "Apa dia sebegitu nggak penginnya dilupain sama orang-orang?"
Adriell tersenyum sendu. Ia meraih tubuh Shyra dan melingkarkan lengannya di pundak perempuan itu. Meski angin berembus makin kencang dan langit makin menggelap, keduanya tidak juga beranjak dari tempatnya.
"Mungkin," balas Adriell singkat.
***
Begitu rintik-rintik hujan mulai turun membasahi bumi, Adriell segera meraih tangan Shyra dan menariknya untuk masuk ke rumah. Adriell bersyukur ia dan Shyra bisa masuk sebelum hujan benar-benar deras. Jika tidak, Nisa pasti akan mengomelinya habis-habisan.
Ketika Adriell dan Shyra sudah duduk di sofa ruang keluarga, Adriell mengambil sekotak tisu dan melemparnya ke arah Shyra. Lalu, duduk di sebelah perempuan itu.
"Muka lo dilap, biar nggak basah."
Shyra nyengir. "Iya, iya." Ia mengambil selembar tisu dan mengusap wajahnya.
"By the way, Dri, lo janji 'kan nggak bakal ninggalin gue kayak Nevan?"
Adriell terdiam sejenak. Matanya menatap televisi besar yang ada di hadapannya. Lalu, senyumnya terbit.
"Iya."
*****
A/n
SELAMAT MALAM MINGGU SEMUAAAA!!! ❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018