"Udah, udah. Nggak usah diperpanjang lagi. Pasti ada alasannya 'kan kenapa Nevan telat."
Nevan memejamkan kedua kelopak matanya. Keringat dingin mengaliri seluruh tubuhnya, padahal sedari tadi, angin terus berembus. Lagi-lagi, rasa sakit di kepalanya itu kembali menghujam dengan kuat.
"Bodo lah. Yang penting gue pulang."
Meringis pelan, Nevan terus berusaha untuk mempertahankan kesadarannya. Pandangannya memburam. Tetapi, ia masih dapat melihat Adriell berjalan ke arahnya, dengan raut wajah tidak peduli.
Hingga pada akhirnya, kedua tungkai Nevan tidak dapat menahan bobot tubuhnya. Nevan ambruk, namun ia masih dapat mempertahankan sisa kesadarannya. Nevan masih dapat mendengar Adriell memanggilnya, dengan panggilan yang sudah lama tidak ia dengar.
Kedua sudut bibir Nevan terangkat samar. Tetapi, tidak lama kemudian, kedua kelopak matanya tertutup sempurna.
Gelap, Kak ....
Adek ... takut.
***
Adriell tidak pernah melihat Bunda menangis.
Mau seberat apapun masalahnya, Bunda tidak pernah menangis, apalagi di depan kedua putranya.
Tetapi, ketika Bunda selesai mengobrol dengan dokter barusan, tiba-tiba saja Bunda menjatuhkan tubuhnya ke kursi dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Adriell dapat mendengar suara isakan Bunda yang tidak sengaja ke luar dari bibirnya. Pundak Bunda bergetar hebat.
Entah sudah berapa lama Bunda berusaha untuk tidak menangis. Hingga hari ini, Bunda tidak dapat menahannya lagi, dan lebih memilih untuk melampiaskan rasa sedihnya.
Di sebelah Bunda, Adriell pun masih terkejut dengan apa yang terjadi sore ini. Baru sekali ini, Adriell melihat Nevan tidak sadarkan diri.
Adriell sedikit menggeser tubuhnya mendekati Bunda. Ia melingkarkan lengannya di pundak Bunda, lalu memeluknya. Untuk sekali ini saja, biarkan Adriell yang memberikan kekuatannya untuk Bunda. Tangannya mengusap punggung Bunda dengan lembut.
"Bun ...."
Bunda menyandarkan kepalanya di dada Adriell. "Nevan ... adek kamu ... Bunda takut ... dia nggak bisa ... Nevan nggak bisa ... bangun lagi."
Adriell membeku di tempatnya. "Bunda, Nevan kenapa?" tanya Adriell khawatir.
Bunda tidak juga menjawab. Ia masih saja terisak. Tanpa Bunda sadari, Adriell meringis pelan. Bukan karena penyakitnya, tapi karena melihat Bunda serapuh ini.
Bagi Adriell, Bunda adalah sosok ibu terhebat yang pernah ditemuinya. Bunda juga menjadi salah satu alasannya untuk tetap bertahan hingga saat ini.
"Adriell ... Bunda ... takut ...." Bunda melepaskan pelukan Adriell. Kedua netranya menatap iris cokelat Adriell yang bersinar lembut. "Bunda takut ... Adek ninggalin Bunda ... lagi ...."
Adriell menggeleng cepat. "Enggak, Bun. Nevan nggak bakal ninggalin Bunda." Ia tersenyum sehangat mungkin.
Hingga tiba-tiba, Nada, yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari Adriell dan Bunda, berjalan menghampiri mereka. Raut wajahnya sama seperti Bunda. Hanya saja, saat melihat tatapan mata Nada yang sinis saat menatap Adriell, ia tahu, Nada benar-benar tidak menyukainya saat ini.
Adriell lantas bangkit. Ia berdeham sesaat sebelum akhirnya berkata, "aku mau ke dalam dulu, Bun." Ia menatap Nada sekilas. "Tante, aku permisi."
Segera saja, Adriell berjalan menjauh. Tetapi, ia masih dapat mendengar percakapan Bunda, walau hanya beberapa kata.
"Perdarahan otak."
***
Adriell membuka pintu ruang ICU perlahan setelah mengenakan maskernya. Manik mata beriris cokelatnya memerhatikan ke sekitar ruangan. Tampak tiga dari lima bed terisi. Dan di bed nomor lima, Nevan, saudara kembar fraternalnya, terbaring tak berdaya.
Perlahan, Adriell melangkahkan kaki mendekati bed nomor lima. Dari posisinya saat ini, ia dapat melihat wajah Nevan tampak tenang. Meski begitu, ketenangan itu tidak dapat menutupi rona pucat yang tergambar jelas di wajahnya.
Adriell berdiri di sebelah ranjang. Ia terdiam, mendengarkan suara helaan napas Nevan yang terdengar menenangkan. Seolah, saat ini Nevan hanya tertidur dan tidak lama kemudian akan kembali membuka matanya.
"Dek ... bangun," ucap Adriell lirih. Kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya. "Gara-gara lo, Bunda nangis. Lo harus bangun, lo harus minta maaf sama Bunda karena udah ngebuat Bunda sedih. Jangan begini ...."
Tidak ada jawaban. Tetapi Adriell tahu, Nevan sedang mendengarkan saat ini.
"Jangan menghindar gitu aja. Yang ada, Bunda makin sedih nantinya. Jangan jadi pengecut kayak gini." Adriell melanjutkan. Lalu, ia berdecak pelan. Ucapannya sia-sia. Sepertinya Nevan terlalu malas untuk sekadar menanggapi perkataan Adriell.
"Bodoh." Adriell menunduk dalam dengan mata terpejam. "Kalau lo berpikir ini adalah cara yang tepat buat narik perhatian Bunda, lo salah. Lo salah besar."
Adriell kembali membuka matanya. Di hadapannya, keadaan Nevan masih sama.
"Kalau lo nggak mau juga buka mata lo, gue bakal lebih benci sama lo seumur hidup gue."
Adriell mundur selangkah. Ia mengusap kedua matanya yang sedikit berair. "Bodo amat. Besok, kalau lo nggak buka mata lo juga, gue nggak bakal pernah maafin lo."
***
Nevan punya banyak mimpi.
Pertama, suatu hari nanti, Nevan ingin menjadi fisioterapis yang hebat. Lalu, ia juga ingin mengajak Nada berwisata ke luar negeri. Nevan juga ingin membahagiakan Bunda.
Tetapi,
saat ini,
Nevan bahkan tidak tahu,
apa ia masih dapat membuka matanya,
atau tidak.
*****
A/n
I'm here! Ada yang mau nemenin aku? Wkwk sepi banget, dong :")
Btw, iya, semalem ga sengaja kepost. Maap yak :") aku ceroboh :")
Sejujurnya, aku masih sedikit ngilu setelah ngeliat persalinan. Tapi, aku senang. Karena aku jadi salah satu orang yang menyambut si dedek bayi :")
Btw, enjoy!
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018