Shyra mengerjapkan matanya. Ia bahkan tidak pernah menyangka bahwa Adriell akan mengeluarkan perasaannya. Meski hanya dari satu sisi, tanpa ada jawaban dari Shyra.
Tanpa sadar, Shyra mencengkeram selimut yang digunakannya. Saat ia menarik napas panjang, wangi khas Adriell tercium santer di indera penciumannya. Matanya terasa memanas, hingga setetes likuid bening jatuh dari pelupuk matanya.
Shyra tidak pernah punya pikiran untuk meninggalkan Adriell sama sekali. Bahkan ketika Shyra benar-benar kecewa pada laki-laki itu, ia tidak pernah ada niatan untuk pergi. Karena pada dasarnya, Shyra menyayanginya. Bahkan lebih dari rasa sayang kepada seorang sahabat.
Perlahan, Shyra bangkit. Ia mengusap sudut matanya dan turun dari tempat tidur. Kepalanya sudah lebih baik saat ini. Jadi, Shyra putuskan untuk keluar dari kamar Adriell dan berjalan menuju ruang makan.
Sesampainya Shyra di ruang makan, ia melihat Adriell duduk di depan piring yang masih kosong. Laki-laki itu tampak merenung di tempatnya. Entah apa yang ia pikirkan, Shyra tidak tahu. Nyatanya, jika Adriell tidak membicarakan semua yang ia rasakan, Shyra tidak akan pernah tahu.
"Hai, Ra," sapa Adriell begitu Shyra duduk di hadapannya. Ia bangkit dan membungkukkan tubuhnya ke arah Shyra. Tangannya menyentuh kening perempuan itu. Dan begitu merasakan suhu tubuhnya yang sudah tidak terlalu tinggi, senyum Adriell terbit. Ia kembali duduk di bangkunya.
Setelah pengakuannya tadi, Adriell tampak biasa saja. Seolah, ia tidak pernah mengakui semuanya. Atau mungkin karena Adriell beranggapan bahwa Shyra tidak mendengar semuanya.
"Kenapa ngelamun? Dimakan, Ra," ucap Adriell, membuyarkan lamunan Shyra, "biasanya nggak gue suruh juga lo makan sendiri. Kenapa sekarang sok jaim begini?"
Lantas saja, Shyra menunjukkan cengirannya. Ia mengambil sepotong tahu goreng dan memakannya. "Lagi nggak nafsu makan sebenarnya. Kayaknya gara-gara gue sakit. Mau beli es krim?"
Adriell terdiam sejenak. "Beli es krim doang tapi nggak beli makan 'kan? Sayang Bunda udah masakin, masa nggak dimakan."
Shyra tersenyum tipis. Ia berlari mengambil jaketnya dan jaket milik Adriell yang ada di ruang tamu.
"Yuk!"
***
Netra Shyra membaca daftar menu yang ada di dinding dekat kasir. Tangan kanannya memainkan anak rambutnya, kebiasaannya ketika sedang menimbang apa yang akan dipilihnya. Dari sekian banyak menu, Shyra tidak tahu harus memilih apa. Sementara di sebelahnya, Adriell hanya diam dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku jaketnya.
"Lo mau apa?" tanya Shyra.
Suasana kafe malam ini cukup ramai. Selain Shyra dan Adriell, masih ada empat orang lagi yang mengantre di depannya. Sehingga hal itu memberikan waktu yang cukup banyak bagi Shyra untuk memilih.
"Gue nganter lo doang. Kayaknya ..." jawab Adriell. "Ummm, nggak, nggak. Kentang goreng boleh, deh. Yang super large. Buat ngemil nanti malam pas nonton boleh juga."
Shyra mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan. Ketika antrean maju selangkah, Shyra ikut maju.
"Lo udah bilang ke Bunda lo kalau mau nginep?" tanya Adriell, "gue nggak mau, lho, dijewer lagi sama Bunda lo. Sakit."
Shyra lantas terkekeh. "Kalau gue aja yang jewer gimana?" Ia memainkan alisnya menggoda. Senyum geli terbit di bibirnya.
"Yah, selama hal itu membuat lo senang, gue nggak masalah," jawab Adriell. Kedua matanya menatap manik bulat Shyra. Senyum hangatnya terbit di bibirnya yang tampak pucat malam ini. "Karena ... lo udah dengar 'kan? Gue sayang sama lo---"
Mendengar hal itu, pipi Shyra lantas memerah.
"---sebagai sahabat."
Rasanya, Shyra ingin menghilang saja saking malunya. Ia memalingkan wajahnya. "Gue mau ke toilet sebentar."
Tanpa menunggu balasan dari Adriell, Shyra keluar dari antrean dan berjalan menuju toilet dengan cepat. Ia menepuk-nepuk wajahnya sendiri. Dan begitu sampai di depan wastafel, Shyra segera menyalakan keran dan mengusap wajahnya yang masih memerah.
"Udahlah, label gue sama dia bakal sahabat terus, nggak bakal berubah," gumam Shyra. Ia menatap manik matanya dari pantulan cermin. "Kenapa gue harus malu sendiri?"
Shyra menggeleng cepat. Ia mematikan keran dan merapikan penampilannya. Setelah mengeringkan kedua tangannya, Shyra berdeham pelan, masih menatap cermin.
"Oke, Ra, santai aja. Kayak biasa. Nggak usah berlebihan, nggak usah takut. Lo udah sahabatan lama sama dia." Shyra kembali bergumam.
Setelah merasa yakin, Shyra kembali menuju antrean. Di sana, ia melihat Adriell berdiri, tepat di depan kasir, sedang menunggu pesanan. Dari sini, Shyra tahu bahwa pikiran Adriell sedang berkelana entah ke mana.
Entah sejak kapan, Shyra sering sekali melihat Adriell hanya melamun jika sendiri. Ia jadi merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran laki-laki itu. Entah apa.
Perlahan, Shyra berjalan menghampiri Adriell. Ia menepuk pundak laki-laki itu perlahan. Dan saat itu pula, Adriell tampak terkejut. Matanya mengerjap beberapa kali.
Benar seperti perkiraan Shyra barusan, Adriell sedang melamun.
"Dri, lo mikirin apa, sih? Perasaan, gue sering banget ngeliat lo ngelamun."
Adriell tampak diam. Matanya melirik ke arah lain. Ia tidak menatap Shyra sama sekali.
"Dri?"
"Gue cuma mikir, Ra."
"Mikir apa?"
"Kapan, ya ... waktu gue habis?"
*****
A/n
Risha: Sebentar lagi, Dri.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018