Merengut pelan, Adriell kembali mengacak rambutnya. Kedua manik matanya masih fokus menatap cermin yang menampilkan pantulan dirinya. Sejak lima belas menit yang lalu, aktivitas Adriell masih sama; merapikan dan mengacak rambutnya, lalu merapikannya lagi dengan gaya yang berbeda. Sampai-sampai, Bunda yang sedari tadi duduk di kasur sambil memerhatikannya menghela napas bosan.
"Mau sampai kapan kamu begitu?" tanya Bunda, "udah siang, Dri."
"Sampai aku puas sama penampilan rambut aku," jawab Adriell, "karena minggu depan, mungkin aja aku nggak bisa lama-lama lagi di depan cermin. Yah, mau buat apa? Ngeliatin rambut aku ngilang? Nggak, nggak mau."
Bunda bangkit. Ia memegang pundak Adriell dari belakang. Kedua manik matanya ikut menatap cermin.
"Gini juga udah cakep, kok," ucap Bunda pada akhirnya. Ia mengambil jaket yang disampirkan di sandaran kursi meja belajar, lalu memberikannya pada Adriell. "Udah kesiangan. Ayah juga udah nunggu. Kita 'kan mau ngerayain ulang tahun kamu."
Senyum Adriell terbit. Binar terlihat di manik matanya yang tampak sayu hari ini. "Kita ke mana kali ini?"
Bunda bertepuk tangan sekali, lalu menempelkan punggung tangannya di pipi. "Kita ke rumah sakit hari ini!" jawab Bunda semangat.
Kelopak mata Adriell melebar. Ia menatap Bunda. "Ngapain?! Jadwal kemo aku masih tiga hari lagi 'kan?"
"Hari ini Nevan terapi. Emangnya, kamu nggak kangen sama kembaran kamu?" tanya Bunda. Iaengacak rambut Adriell. "Yuk. Kamu kelamaan dandan di depan cermin."
Adriell memutat kedua bola matanya. "Aku nggak kangen sama dia." Ia memakai jaketnya. Matanya sesekali melirik Bunda yang tersenyum geli.
"Gengsi banget, sih," canda Bunda. Ia mengambil tas kecil berisi obat-obatan milik Adriell, lalu dimasukkan ke dalam tas miliknya. "Gimana pun juga, kalian 'kan bareng sejak dari dalam kandungan."
"Iya, sampai usia delapan tahun doang. Sisanya, karena Bunda sama Ayah cerai, aku sama dia jadi nggak bareng lagi." Adriell merapikan penampilannya sekali lagi di depan cermin, lalu membalik tubuhnya. "Yuk, Bun."
Bunda meraih tangan Adriell dan digenggamnya dengan erat. "Yuk!"
***
Nevan harus dapat beraktivitas seperti biasa lagi.
Hal itulah yang sedari tadi terus Nevan teriakkan di dalam pikirannya. Nevan menatap Bunda yang sedang bersiap untuk mengantarnya ke ruang untuk terapi. Sementara dirinya sudah duduk di kursi roda, dengan pakaian yang Nada beli tadi malam.
Nada tersenyum senang. Ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju Nevan. Ia bersiap mendorong kursi roda Nevan ketika tiba-tiba suara pintu yang diketuk terdengar. Nada lantas menoleh. Ia segera berjalan menuju pintu ruang rawat, dan membukanya.
Di muka pintu, Bunda berdiri dengan senyum di bibirnya. Di belakang Bunda, Adriell tampak sedang memainkan ponselnya. Segera saja, Bunda masuk ke dalam ruangan, diikuti oleh Adriell.
Senyum tipis Nevan lantas terbit. "Bun-da," panggil Nevan pelan. Suaranya terdengar sangat lirih.
Baik Bunda maupun Nada, keduanya sama-sama menoleh. Tetapi, ketika Bunda berjalan menghampiri Nevan, Nada hanya terdiam di tempatnya. Ia sadar, mau bagaimanapun juga, dirinya hanya seorang ibu tiri yang posisinya masih berada di bawah Bunda.
"Hei, Sayang." Bunda mengusap puncak kepala Nevan. "Udah siap terapinya?"
Perlahan, Nevan menganggukkan kepalanya. Setidaknya, walau gerakannya masih samar, Nevan tetap berusaha. Ia ingin cepat pulih.
"B-Bun-da," panggil Nevan terbata, "ma-ka-sih."
Bunda tersenyum lembut. Sudah lama ia tidak benar-benar dekat dengan Nevan. Meski sudah meminta maaf atas apa yang sudah dilakukannya, Bunda tidak secara berkala bertemu dengan Nevan. Karena pada dasarnya, saat Bunda melihat Adriell, tampak pula sosok Nevan di dalam dirinya. Walau sebenarnya mereka berdua berbeda.
Bunda mengecup pipi Nevan singkat. "Selamat ulang tahun, Sayang. Bunda akan selalu mendoakan yang terbaik buat kamu. Semangat, ya. Bunda mau lihat kamu pulih." Bunda bersiap di belakang Nevan dan mendorong kursi roda Nevan perlahan.
Sementara Nevan tersenyum lebih lebar lagi. Entah kenapa, ia merasa sangat senang hari ini. Dan karena Bunda, ia harus bisa pulih.
***
Nada merasa cemburu.
Saat melihat Nisa---ibu kandung dari Nevan dan Adriell---tampak sangat akrab dengan Nevan, entah kenapa, ada rasa tidak suka di dada Nada. Meski seharusnya ia sadar, untuk apa ia cemburu? Mau bagaimanapun juga, Nisa adalah ibu kandungnya.
Dan Nevan berhak mendapatkan kasih sayang itu.
Nada mengembuskan napas lesu. Ia berjalan di belakang Nisa, mengikuti. Walau sebenarnya, Nada ingin berada di posisi Nisa saat ini.
Tetapi, seseorang seperti meneriaki Nada. Posisi Nisa tidak akan pernah tergantikan. Sekuat apapun Nada berusaha, Nada hanya akan terus berada di belakang bayang Nisa.
Hanya saja, ketika melihat senyum Nevan. Ketika melihatnya bahagia. Meski bukan karena dirinya,
Nada ikut berbahagia.
*****
A/n
Aku ngetik ini dalam tiga posisi; pertama di kursi roda, kedua di bed rumah sakit, dan yang ketiga pas lagi disuntik :")
Bisa dibilang, tanganku hematoma, sebelas kali disuntik hari ini :")
DAN AKU PERSEMBAHKAN PART INI UNTUK KALIAN :")
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018