Sebenarnya, selama ini, Adriell memiliki kehidupan yang sempurna. Setidaknya, meski kedua orang tuanya sudah tidak lengkap lagi, tetapi ia sudah dapat seorang ayah pengganti. Bunda, meskipun sibuk bekerja, terkadang menyempatkan diri untuk makan bersama.
Meski begitu, tetap saja Adriell merasa kurang. Ia tetap saja merasa ada sesuatu yang membuatnya terus berharap dirinya dilahirkan sebagai orang lain.
Terutama kini.
Kedua manik mata Adriell mengerjap beberapa kali. Nisa yang duduk di bangku sebelahnya tampak tertidur. Semalaman ini, memang Adriell terus mengeluh sakit hingga membuat Nisa tidak bisa tidur.
Adriell menarik napas panjang. Ia sempat bertanya pada dokter apa yang terjadi pada dirinya. Awalnya, Nisa seolah tidak memeperbolehkan Adriell untuk tahu. Namun, Adriell merasa dirinya sudah cukup dewasa untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, saat mengetahui apa yang terjadi, Adriell malah menyesal mendengarnya. Benar kata Nisa, lebih baik ia tidak usah tahu dan lebih fokus pada pengobatannya.
Kata dokter, sel kanker yang awalnya berada di paru-paru, menyebar ke daerah lainnya. Bahasa kerennya, sih, bermetastasis. Tapi, bagi Adriell, arti dari kata itu tidak ada keren-kerennta sama sekali. Justru, hal itu membuatnya semakin takut.
Mendadak, Adriell mengingat apa yang Nisa ucapkan kemarin, tepat saat ia sadar.
Usia kandungan Nisa sudah memasukin bulan ke delapan. Tidak perlu menunggu waktu lama lagi hingga anak di kandungannya lahir. Itu berarti, Adriell hanya perlu bertahan sebentar lagi. Paling tidak hingga adiknya lahir.
Tiba-tiba, terbersit suatu hal di pikiran Adriell.
Jika pada akhirnya sel kanker yang ada di tubuhnya bermetastasis, apa gunanya pengobatan yang sudah menghabiskan banyak uang itu? Apa hanya untuk memperlambat pertumbuhannya dan mengundur jadwal kematiannya? Jadi, apa pengobatannya selama ini sia-sia? Karena nyatanya, Adriell tidak akan sembuh. Mungkin untuk selamanya.
Mungkin benar, hanya kematian yang akan menyembuhkannya dari segala rasa sakit itu.
Adriell lantas tersenyum miris karena pikirannya itu. Ia ingin bangkit, namun tubuhnya seolah tidak bertenaga. Bahkan hanya untuk melakukan hal yang mudah, rasanya terasa benar-benar sulit.
Sungguh, Adriell benar-benar berharap kematian cepat menghampirinya.
Lagipula, apa lagi tujuannya di dunia ini?
Kedua orang tuanya akan mendapat pengganti dirinya sebentar lagi. Cita-cita? Adriell bahkan berpikir bahwa ia tidak akan bisa melewati masa SMA-nya. Apalagi berkuliah. Ia tidak dapat memprediksi sejauh itu.
Masalah percintaan? Memikirkan tentang hidupnya esok saja sudah terasa berat, bagaimana harus memikirkan masalah perempuan?
Adriell benar-benar menyerah.
Ia hanya ingin ...
semuanya cepat berakhir.
*****
A/n
Mau promosi, ah! Wkwkwk selama, ini, aku melipir ke akun hazynx untuk menyelesaikan monthly project di sana. Sekaligus, memulai kehidupan baru! Wkwk
Tapi tetap, aku kangen kamu :")
Enjoy!
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018