Entah kenapa, Adriell tidak ingin pulang hari ini. Ia ingin menghabiskan waktu bersama Bunda, setelah sekian lama Adriell jarang bersama Bunda. Seolah, hari ini adalah hari terakhir Adriell dapat menghabiskan waktu bersama Bunda. Jadi, sepulangnya dari rumah sakit, Adriell segera mengajak Bunda menuju kedai favorit mereka yang lokasinya berada tidak jauh dari sana.
Meski Bunda sudah mewanti-wanti Adriell agar langsung pulang dan beristirahat, ia tetap saja memaksa Bunda. Alasannya karena Adriell tiba-tiba ingin es krim vanila. Dan pada akhirnya, Bunda setuju. Ditambah dengan iming-iming Adriell yang akan membayar sendiri es krimnya dan es krim milik Bunda.
Setelah berjalan kaki selama lima menit, Adriell dan Bunda sampai di Cerita Kita, kedai bernuansa homie yang buka 24 jam. Dengan menu yang beragam dan harga yang terjangkau kedai ini selalu ramai pengunjung.
"Bunda mau apa?" tanya Adriell sesaat setelah dirinya dan Bunda duduk di kursi mereka, tepat di samping jendela, "yang kayak biasa aja?"
Bunda berpikir sesaat. Ia mengambil buku menu yang berada di sudut meja, lalu membukanya asal.
"Bunda nggak usah, deh," jawab Bunda pada akhirnya.
Alis Adriell tertaut. "Kenapa?" Ia menatap Bunda lekat-lekat. Manik matanya dipenuhi oleh tanda-tanya. "Biasanya Bunda paling semangat milih kalau udah aku yang bayarin. Kenapa sekarang nggak mau?"
Bunda tersenyum tipis. Kedua tangannya terlipat di atas meja. "Nggak apa-apa. Cuma nggak pengin aja," jawab Bunda, "mending, kamu simpan uang kamu. Buat nanti."
Adriell mengerjap sesaat. "Oh, oke." Ia memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. Setelahnya, pelayan itu berlalu.
"Bunda lagi mikirin apa?" Adriell bertanya ketika melihat Bunda tampak merenung di tempatnya. "Jangan ngelamun, Bun. Aku berasa sendirian di sini."
Lagi-lagi Bunda hanya tersenyum tipis. Tangannya menyingkap rambut Adriell yang mulai memanjang.
"Potong rambut kamu, tuh. Sebelum kena razia di sekolah," ucap Bunda, tidak menjawab pertanyaan Adriell sama sekali.
"Ngapain juga dipotong." Adriell meraih tangan Bunda, lalu digenggamnya erat. "Minggu depan aku harus kemo lagi 'kan? Yaudah, nanti juga rontok sendiri."
Senyum di wajah Bunda luntur. "Ya 'kan biar kamu bisa sembuh."
Adriell tertawa renyah. Namun, Bunda tidak dapat melihat ekspresi apapun di mata laki-laki itu. "Aku nggak yakin kemo bisa nyembuhin aku," balas Adriell lirih, "atau justru, cuma bakal ngabis-ngabisin uang? Belum lagi obat-obatnya. Ugh. Aku pasti benar-benar nyusahin Bunda gara-gara penyakit sialan ini 'kan?"
Bunda mengepalkan telapak tangannya. "Ngomong apa kamu barusan?" tanya Bunda. Tatapannya tajam menatap Adriell.
Adriell lantas membuang pandangannya. "Benar, Bun. Kata orang, pasti ada harapan. Tapi bagi aku, harapan itu yang ngebuat aku semakin mati setiap harinya. Semakin aku berharap sama kesembuhan, rasanya semakin jauh aku dari hal itu."
Menghela napas, Bunda pada akhirnya berkata, "Adriell, Bunda capek. Apalagi kalau kamu ngomong yang aneh-aneh begitu. Jangan buat Bunda makin capek gara-gara kamu."
"Kalau Bunda aja capek, apalagi aku!" balas Adriell dengan nada suara yang ditinggikan. Napasnya mulai terengah. "Kalau Bunda udah capek sama aku, bilang, Bun."
Adriell mengusap sudut netranya yang mulai berkaca-kaca. Ia tidak berani menatap Bunda yang duduk tepat di hadapannya. "Bunda ... udah nyerah sama aku?" tanya Adriell lirih.
"Adriell, bukan gitu ...." Bunda berusaha meraih tangan Adriell, namun laki-laki itu malah menghindar.
"Mending Bunda pulang duluan aja. Aku bisa pulang sendiri nanti."
Bunda menghela napas panjang. "Adriell, jangan begini. Bunda sayang kamu. Bunda---"
"Bunda capek 'kan?" Adriell memotong ucapan Bunda dengan cepat. "Mending Bunda pulang. Tolong."
Pada akhirnya, Bunda bangkit. Ia mengusap puncak kepala Adriell, lalu berjalan menuju kasir. Setelah membayar pesanan milik Adriell, Bunda segera berjalan ke luar kedai. Meski sebenarnya Bunda masih khawatir. Terutama saat melihat napas Adriell yang tampak terengah.
Hingga pada akhirnya, Bunda tidak dapat lagi melihat Adriell.
Sementara itu di kedai, Adriell masih duduk di bangkunya. Ia berusaha menarik napas panjang. Kemudian, ketika merasa napasnya tidak juga membaik, Adriell menelungkupkan kepalanya di atas meja, tidak peduli pada es krim vanila dan cheese french fries yang ada di atas meja.
"Maaf, Bun ...."
*****
A/n
Ummm, halo!
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018