d u a p u l u h e m p a t

6.7K 467 11
                                    

Adriell tidak tahu kapan ia dapat keluar dari ruangan beraroma disinfektan ini. Seingatnya, sudah berminggu-minggu ia berada di sana. Rasanya, Adriell sungguh bosan. Banyak hal yang Adriell rindukan di luar sana.

Mulai dari hal kecil seperti embusan angin yang lembut di pagi hari, hingga sekolah. Meski kadang merasa lelah, nyatanya, ketika Adriell tidak bisa berangkat sekolah, ia justru merindukan tempat yang kadang mirip seperti neraka dunia itu. Pelajarannya, teman-temannya, guru-gurunya, bahkan makanan di kantin.

Adriell merindukan semuanya.

Ia merindukan kehidupannya yang lama.

Ia merindukan kebebasan yang dulu dimilikinya.

Karena penyakit sialan ini, semuanya terenggut. Apalagi, semenjak penyakitnya menjadi semakin parah. Berbagai jenis obat-obatan yang bahkan tidak dapat menyembuhkannya hingga saat ini. Metode pengobatan yang biayanya mahal. Ditambah lagi dengan biaya perawatan rumah sakit yang cukup menguras tabungan kedua orang tuanya.

Perlahan, Adriell menolehkan kepalanya, menatap Chiko yang duduk di sofa. Sedari tadi, ia perhatikan sang ayah tampak gelisah. Entah apa yang pria itu pikirkan, Adriell tidak tahu.

"Yah?" panggil Adriell pada akhirnya. Ia bergerak gelisah, merasa tidak nyaman karena selang water seal drainage yang ada di sisi tubuhnya. "Kenapa? Kesannya nggak enak banget dari tadi."

Chiko menoleh dan tersenyum tipis. Ia menggaruk kepalanya yang bahkan tidak gatal. "Keliatan banget, ya?" tanya Chiko. Kedua manik beriris hitamnya menatap wajah Adriell yang tampak pucat.

"Iya, banget." Adriell mengangguk pelan. "Ada yang ngeganggu pikiran Ayah sekarang?"

"Kalau menurut HPHT, HPL-nya lusa." Chiko mengusap wajahnya yang tampak lelah. Memang, beberapa hari ini Chiko lah yang menjaga Adriell, sementara Nisa beristirahat di rumah.

Adriell menyernyit takmengerti. "HPHT itu apa? HPL juga apa?" tanyanya penasaran.

"Hari Pertama Haid Terakhir. HPL itu Hari Perkiraan Lahir." Chiko tampak bangkit dan menghampiri Adriell, lalu duduk di bangku yang ada di sebelahnya. "Lusa Bunda bakal melahirkan."

Adriell tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Senyum terbit di bibirnya, tetapi kedua netranya justru mulai berkaca-kaca. Nyatanya, Adriell justru mengingat janjinya pada Nisa untuk bertahan paling tidak hingga adiknya lahir. Dan Adriell sudah sampai pada titik itu.

Kedua tangan Adriell menutup wajahnya. Ia bahkan membiarkan likuid bening mengalir begitu saja dari sudut matanya. Meski Adriell sudah menahannya sekuat tenaga.

"You okay?" tanya Chiko khawatir. Ia berdiri dan mengusap pundak Adriell dengan lembut. "Ada yang sakit? Mau Ayah panggilin perawat?"

Adriell menggelengkan kepalanya perlahan. Ia menurunkan kedua tangan dari wajahnya. Senyum sendu tampak di bibirnya yang pucat.

"Yah," ucapnya lirih. Ia menggigit bibir bawahnya sejenak. "Aku bahagia."

Untuk sejenak, Chiko tampak terkejut. Ia ikut tersenyum. Meski rasanya menyakitkan saat melihat senyum laki-laki itu. Seolah, Adriell sudah tidak merasakan sakit apa-apa lagi. Seolah, penyakit itu tidak berdampak apa-apa.

"Makasih banget buat perjuangan Ayah. Karena itu, aku bisa bertahan sampai saat ini, sampai detik ini," lanjut Adriell. Senyumnya tampak tulus di mata Chiko.

"Terima kasih, Ayah." Adriell memejamkan matanya sejenak. "Terima kasih, Bun."

***

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang