t u j u h

7.3K 692 89
                                    

Adriell berdecak pelan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Adriell berdecak pelan. Ia bersedekap dengan raut wajah yang keras. Kedua manik matanya tidak juga lepas dari gerbang sekolah. Suasana sekolah sudah sepi sejak tadi.

Sudah pukul lima sore dan Adriell masih saja berdiri di lobby utama sekolahnya. Sejak dua jam lalu ia menunggu Nevan yang entah kenapa sampai sekarang belum datang juga. Padahal, jika dihitung-hitung, perjalanan dari sekolah Nevan ke sekolah Adriell hanya berkisar tiga puluh menit. Atau paling lama satu jam perjalanan.

Semua ini akibat Bunda menyita kunci motornya. Belum lagi Bunda mengurangi uang saku Adriell sampai beberapa hari ke depan. Terpaksa, Adriell menunggu Nevan seperti ini.

Apa Nevan lupa dengan tugasnya sore ini?

Atau Nevan memang tidak ingin menjemputnya?

Kalaupun iya, sejak kapan Nevan tidak mematuhi perkataan Bunda?

"Lagi nungguin siapa?"

Sebuah suara mengintrupsi pemikiran Adriell. Ia lantas menoleh. Tepat saat itu pula, Adriell mendapati Shyra berdiri di sebelahnya. Wajah perempuan itu tampak lelah sore hari ini.

"Baru selesai rapat, Ra?" tanya Adriell. Ia tidak menjawab pertanyaan Shyra barusan.

Shyra menatap langit yang masih saja mendung sore hari ini. Ia menghela napas lelah. "Seharian ini mendung mulu, ya. Kayak hati gue."

"Mulai, deh, Ratu Baper-nya muncul lagi." Adriell berucap sinis.

"Tapi lo sayang 'kan?" tanya Shyra jahil. Ia terkekeh pelan, tanpa menyadari bahwa ucapannya berefek pada Adriell.

Tidak seperti Shyra yang santai saja saat mengucapkan kalimat itu, efek berbeda justru terjadi pada diri Adriell. Jantungnya mendadak berdetak cepat. Darah mengalir menuju wajahnya, membuat rona merah terlihat di sana. Adriell lantas menundukkan kepalanya.

"Eh? Muka lo merah. Lo kenapa? Sakit? Demam?" Shyra menatap wajah Adriell intens. Air mukanya tampak khawatir.

Adriell kembali mengangkat kepalanya. Ia nyengir. "Oh. Lo terdengar peduli sama gue."

"Yaiyalah!" Shyra membalas dengan cepat. "Lo itu udah kayak kakak gue, Dri. Gue nggak suka lihat lo sakit gitu. Rasanya, gue ikutan sakit kalau lo sakit."

Mendengar ucapan Shyra membuang cengiran Adriell luntur. Ia berdeham pelan. "Oh, iya. Benar-benar adek yang peduli sama kakaknya. Makasih, lho."

"Sama-sama." Shyra tersenyum polos hingga matanya menyipit. Entah perempuan itu menyadari perubahan raut wajah Adriell atau tidak.

"Nggak kayak adek gue ...." Adriell terdiam sejenak. Ia kembali menatap gerbang sekolah. "Oh, iya. Itu anak mana, sih?"

***

Nevan tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Akhir-akhir ini, ia sering merasakan sakit di kepala yang tak tertahankan.

Seperti saat ini.

Setelah bel pulang berbunyi beberapa puluh menit yang lalu, Nevan masih saja menidurkan kepalanya di atas meja dengan kedua lengan menjadi bantalannya. Teman-teman sekelasnya sudah pulang. Hanya tersisa Raya yang duduk di sebelahnya. Sesekali, perempuan itu mengusap punggung Nevan dengan lembut.

"Aku antar pulang, ya," bujuk Raya sekali lagi, "aku udah bilang ke Mama, kok. Jadi tenang aja."

Nevan menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Ray. Udah nggak sakit, kok. Aku bisa pulang sendiri," ucap Nevan sebelum akhirnya ia mengangkat kepalanya dan tersenyum lembut.

Meskipun sakit di kepalanya itu masih terasa menyiksa, Nevan langsung memakai tasnya, lalu bangkit dari kursinya. Wajahnya yang terlihat pucat pasi itu masih saja menampilkan senyuman. Tetapi, satu hal yang Raya ketahui, hal itu Nevan lakukan semata untuk menutupi rasa sakitnya.

Nevan melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Kelopak matanya melebar saat melihat jarum pendek menunjuk ke arah angka empat.

"Kenapa? Kepala kamu sakit lagi?" tanya Raya khawatir. Ia meraih pundak Nevan, menyuruhnya untuk duduk kembali. Tetapi, laki-laki itu langsung menepis tangan Raya.

"Aku harus jemput kakak aku." Nevan berucap cepat. "Udah jam segini, Ray. Dia pasti udah nunggu aku."

"Tapi kamu sakit. Kesehatan kamu lebih penting!"

"Kakak aku juga sakit, Ray." Nevan membalas cepat. "Dan yang nyuruh aku jemput dia itu Bunda. Aku nggak boleh nolak."

Raya terdiam sejenak. Ia menatap Nevan dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Udah, Ray. Udah jam segini," lanjut Nevan, "aku harus segera ke sana."

Pada akhirnya, Raya hanya berkata, "oke." Ia tersenyum tipis dan mundur selangkah.

"Tapi, kamu harus janji sama aku kalau kamu nggak akan kenapa-napa."

Nevan balas tersenyum. "Iya, janji."

***

"Lah, lo dijemput sama Nevan?" Shyra bertanya saat melihat mobil yang ia ketahui sebagai milik Nevan, berhenti di depan gerbang sekolah.

"Iya," jawab Adriell singkat. Tatapan matanya tajam saat melihat Nevan ke luar dari mobilnya dan berlari menghampiri Adriell.

"Maaf---"

"Lama," potong Adriell. Ia bersedekap. "Lo niat jemput gue nggak, sih, sebenarnya? Lo telat hampir dua jam."

Nevan menunduk. "Maaf."

"Kalau nggak niat, nggak usah ngeiyain. Gue yang ribet di sini."

Shyra yang berada di sebelah Adriell langsung maju dan berdiri di hadapan Adriell. Ia mendorong tubuh laki-laki itu agar sedikit menjauh.

"Udah, udah. Nggak usah diperpanjang lagi." Shyra berusaha menenangkan. "Pasti ada alasannya 'kan kenapa Nevan telat."

"Bodo lah. Yang penting gue pulang."

Adriell berjalan menuju Nevan yang masih berdiri di tempatnya.

"Yaudah, ayo---"

Ucapan Adriell terpotong saat tiba-tiba tubuh Nevan limbung dan ambruk begitu saja.

*****

A/n

Mau update semalam, tapi ketiduran.

Bye.

Enjoy!

Edit:

Terima kasih karena udah ngebuat aku ketawa-ketawa sendiri pas iseng buka komentar wkwk padahal lagi mumet dinas di salah satu RS di Bekasi.

Meet up yuk wkwkwk

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang