Adriell itu ingin jadi dokter, tapi ia tidak suka dengan biologi, pelajaran hafalan yang menjadi dasar cita-citanya itu.
Setelah guru biologinya keluar dari kelas, Adriell segera menidurkan kepalanya di atas meja dengan lengan menjadi bantalannya. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Matanya terpejam erat.
"Lo kenapa? Sakit?" Aksa, teman sebangkunya, bertanya.
"Gue benci kawin-kawinan," balas Adriell lesu.
"Kawin-kawinan ...?" Aksa berpikir sejenak. "Oh! Maksud lo materi hereditas?"
Adriell berdiri dengan cepat. Ia terdiam sejenak saat merasakan kepalanya yang terasa pening. Untuk sesaat, Adriell hampir kehilangan keseimbangannya jika kedua tangannya tidak bertumpu pada meja.
"Kalau mau berdiri, diam dulu. Jangan langsung. Pusing 'kan?" Aksa mengomel.
Dari sekian banyak orang yang dekat dengan Adriell, bisa dibilang, Aksa adalah yang paling cerewet, walaupun masih di bawah Shyra. Lima tahun sekelas dan selalu duduk sebangku membuat keduanya menjadi sahabat dekat. Bisa dibilang pula, Aksa adalah orang yang Adriell percaya.
"Iya, iya." Adriell nyengir. Ia memejamkan matanya sesaat sebelum akhirnya kembali membukanya. "Gue mau makan. Lo mau ikut nggak?"
Aksa menyernyit sesaat. "Biasanya lo makan sama Shyra 'kan? Gue nggak mau ngeganggu, ah," jawabnya. Ia mengambil jaket yang ada di sandaran kursinya, kemudian dilipatnya dan diletakkan di atas meja. "Mau tidur. Hujan-hujan gini enaknya tidur."
"Padahal tadi pagi, pas upacara nggak hujan. Mendadak hujan gini," gumam Adriell. Ia menatap ke luar jendela. Udara dingin yang berembus dari celah jendela yang terbuka cukup membuatnya mengusap kedua telapak tangan.
"Pakai jaket. Di luar dingin 'kan?" Aksa berujar. Ia menidurkan kepalanya di atas meja. "Jangan cari penyakit."
"Nggak usah dicari juga udah ada," balas Adriell acuh tak acuh. Ia mengambil jaket yang ada di bawah kolong meja, kemudian mengambil kotak bekal berwarna biru langitnya. "Lo yakin nggak mau makan?"
Tanpa suara, Aksa menggeleng pelan. Laki-laki itu sudah memejamkan mata.
"Oh, yaudah."
***
Nevan: Tolong ingetin Adriell juga, jangan sampai lupa minum obatnya. Terus nanti tahan jangan sampai pulang sendiri.
Shyra: Perhatian sekali.
Shyra: Kenapa nggak ngingetin sendiri?
Nevan: Gue udah di-block kayaknya.
Baru saja Shyra ingin membalas pesan dari Nevan, seseorang meletakkan sebuah kotak makan di atas meja. Shyra lantas mendongak, menatap siapa orang itu.
"Selamat siang, Shyra," sapa Adriell hangat, "makan, yuk!"
Adriell duduk di hadapan Shyra setelah membalik bangku. Kedua manik cokelatnya yang bersinar hangat menatap ke arah Shyra. Untuk sejenak, kehangatan itu membuat Shyra salah tingkah. Perempuan itu lantas membuang pandangannya.
"Bukannya biasanya lo sama Aksa? Kenapa mendadak nyamperin gue?" tanya Shyra. Ia menarik napas panjang dan kembali menatap Adriell intens. Entah kenapa, Shyra merasa sedih saat melihat wajah laki-laki itu tampak pucat. Ditambah dengan senyum polos yang menghiasi wajahnya.
"Aksa lagi mau tidur hari ini. Masa, gue makan sendiri? Apakah sejomlo itu gue?"
Shyra terkekeh pelan. Ia bangkit dari bangkunya. Kebetulan, hari ini Cadenza tidak masuk karena sakit. Dan Shyra juga tidak ingin sendiri.
"Yaudah, yuk."
Shyra berjalan ke arah depan kelas. Sementara Adriell masih saja duduk di bangku sambil tersenyum kecil melihat tingkah Shyra.
Saat merasa bahwa tidak ada seseorang di belakangnya, Shyra memutar tubuhnya. Benar saja, Adriell masih duduk di bangkunya, memerhatikan Shyra dengan senyum tipisnya.
"Eh? Ayo! Gue nggak mau kelamaan makan. Belum salatnya. Istirahat 'kan nggak lama-lama banget," ujar Shyra, setengah berteriak.
Adriell meraih kotak makannya. Ia bangkit dari bangku, lalu menghampiri Shyra.
"Iya, iya, Ra."
*****
A/n
Hmmmm!
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018