Rasanya benar-benar membahagiakan.
Ketika pintu kamar rawat terbuka, hal yang pertama Adriell lihat adalah senyum khas Bunda yang menenangkan. Di gendongan Bunda, adiknya yang baru berumur tiga hari itu tampak tertidur pulas. Sontak, senyum Adriell ikut terbit.
Rasanya, benar-benar menyenangkan ketika pada akhirnya melihat wajah Bunda tampak bahagia.
Akhir-akhir ini, tak bisa Adriell mungkiri, wajah Bunda memang tampak lelah. Senyum yang Bunda tampilkan hanya untuk formalitas belaka. Tak jarang Adriell memergoki Bunda termenung sendiri. Entah apa yang Bunda pikirkan, Adriell tidak pernah tahu.
"Hei, Sayang." Bunda menyapa. Ia duduk di kursi yang ada di sebelah bed. "Gimana kabar kamu? Bunda datang, nih, sama Faza, adek kamu."
"Baik banget, Bunda," jawab Adriell.
Adriell tersenyum senang. Selama beberapa bulan ke belakang, semenjak didiagnosis penyakit sialan yang berbahaya itu, Adriell tidak pernah menjawab dengan jujur, bahwa dirinya tidak baik-baik saja. Ia selalu berlindung di balik kata 'baik' setiap kali ditanya.
Tetapi, untuk kali ini, dengan lancarnya, Adriell bahwa ia dalam keadaan yang benar-benar baik. Kali ini, bukanlah sebuah kebohongan. Nyatanya, senyum bahagia Bunda dan kelahiran adiknya, cukup membuat dirinya benar-benar merasa sehat.
Ada banyak hal yang Adriell lalui selama beberapa bulan ke belakang. Dan ia menyadari, bahwa dengan kebahagiaan orang-orang yang ada di sekitarnya, Adriell bisa ikut bahagia. Dengan senyum mereka, setidaknya, bisa menjadi salah satu penyemangat Adriell untuk tetap berada di sana.
Dan Adriell sudah merasa puas karena dapat berada di tahap itu.
Meski tubuhnya mungkin saja tidak akan dapat disembuhkan. Meski mungkin umurnya tidak akan mencapai usia dua puluh tahun. Meski mungkin waktunya di dunia ini tinggal sesaat, Adriell sudah merasa cukup.
"Mau ngegendong Adek, boleh?" pinta Adriell. Kedua manik matanya tampak berbinar indah. Secercah cahaya tampak di sana.
Bunda mengangguk pelan. Ia bangkit, dan meletakkan Faza yang masih tampak pulas di antara kedua lengan dan dada Adriell. Meski masih sedikit canggung, senyum lebar tetap terbit di bibirnya yang pucat.
Perlahan, jemari Adriell mengusap rambut hitam Faza yang terasa lembut. Manik matanya tampak berkaca-kaca. Menatap wajah sang adik yang tampak tenang cukup membuatnya merasa sedih.
"Hai, Adek." Adriell berucap. "Benar 'kan apa kata Kakak. Kamu itu cowok." Tanpa sadar, Adriell terkekeh pelan.
"Dek, Kakak udah nepatin janji Kakak untuk bertahan sampai kamu lahir. Kalau gitu, kamu juga harus janji sama Kakak kalau kamu bakal jagain Bunda. Jangan pernah buat Bunda sedih, kayak apa yang udah Kakak lakuin." Adriell terdiam sejenak. Ia membiarkan setetes likuid membasahi pipinya, hingga akhirnya menetes, mengenai selimut sang adik.
"Janji sama Kakak kalau kamu bakal ngebuat Bunda sama Ayah bangga. Kamu lahir dari seorang ibu yang kuat. Nantinya, kamu juga harus jadi seseoranh yang kuat. Jangan pernah kalah sama apapun." Adriell memejamkan matanya sejenak. "Dek, Kakak sayang sama kamu. Ayah sama Bunda juga sayang sama kamu. Jadi anak yang baik, ya."
Adriell mengecup puncak kepala Faza. Adiknya itu tampak sedikit menggeliat, membuat Adriell merasa tidak enak hati karena sudah mengganggu tidur nyenyaknya. Segera saja, Adriell kembali menyerahkan Faza pada sang bunda.
"Kamu senang 'kan?" tanya Bunda.
Adriell mengangguk. "Aku senang banget, Bunda. Terima kasih karena udah ngajak Adek ke sini."
"Nanti, kalau Adek udah besar, kamu ajak Adeknya main, ya," pinta Bunda. Suaranya terdengar bergetar. Namun, senyum masih tampak di bibirnya. "Janji?"
Adriell balas tersenyum. "Iya, Bunda."
***
Nyatanya, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depan.
Malamnya, kondisi Adriell memburuk. Kesadarannya menurun hingga ia harus dipindahkan ke ruang ICU untuk dipantau kondisi vitalnya. Bahkan, pernapasannya harus dibantu oleh ventilasi mekanik.
Hingga bahkan besoknya, tidak ada peningkatan pula. Seolah, kehidupannya kini hanya bergantung pada alat. Seolah, sudah tidak ada harapan lagi.
Kedua mata itu terpejam erat ketika Bunda masuk ke dalam. Dengan perlahan, Bunda menghampiri Adriell. Ia mengusap puncak kepala laki-laki itu dengan lembut. Senyum sendunya terbit.
Di belakang Bunda, beberapa orang tampak mengikuti. Pada akhirnya, keputusan Bunda sudah bulat. Ia sudah tidak bisa lagi menahan putranya itu.
"Sayang Bunda, kamu anak yang kuat, ya." Bunda mengusap pipi Adriell yang terasa dingin di permukaan tangannya. "Selama beberapa bulan ini, kamu udah berusaha bertahan. Meskipun sakit, kamu berhasil membuktikan kalau kamu anak yang kuat."
Bunda terdiam sejenak. Matanya menelusuri setiap detail wajah Adriell, berusaha untuk merekam dalam ingatannya. Sembari Bunda membayangkan bagaimana senyum laki-laki itu, bagaimana tatapan hangatnya, dan bahkan tawanya.
"Rasanya, Bunda baru kemarin ngegendong kamu. Baru kemarin Bunda ngeliat kamu bisa jalan. Kamu ingat 'kan kamu dulu suka berantem sama Nevan, selalu minta dibeliin barang yang sama. Kayaknya juga, baru kemarin kamu pakai seragam sekolah." Bunda tertawa geli. Bahkan, meski air mata terus saja mengalir, senyumnya tidak juga luntur. "Nggak terasa sama sekali, ya. Dan sekarang, Bunda harus ada di posisi ini. Padahal, Bunda nggak pernah berharap soal ini."
Bunda lagi-lagi terdiam, berusaha meredam isakannya. Dadanya terasa benar-benar sesak saat ini. Lidahnya kelu. Bunda tidak dapat mengucapkan selamat tinggal sama sekali. Bukan ini akhir yang diharapkannya.
"Sayang, makasih, ya, udah jadi anak Bunda. Walaupun cuma sesaat, Bunda bahagia karena punya anak sehebat kamu. Bunda sayang banget sama kamu." Bunda berucap lirih. "Bunda tahu ini keputusan yang tepat. Bunda ... lepas kamu. Istirahat yang tenang, ya."
Bunda memejamkan matanya. Untuk terakhir kali, ia mengusap puncak kepala Adriell sebelum akhirnya membalik tubuhnya. Perlahan, Bunda mengangguk, memberikan kode bahwa ia sudah benar-benar melepaskannya.
Lalu, ventilator dimatikan.
Dan suara statis dari bed side monitor pun terdengar.
*****
A/n
Done!
Ngomong-ngomong, IPS aku meningkat pesat :")
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018