Nada duduk di meja makan. Matanya menatap dapur yang tampak sepi sore hari ini. Padahal, biasanya ada seseorang yang selalu membuat suasana rumah terasa hidup.
Biasanya, Nada duduk di meja makan, sambil menatap Nevan yang sedang menyiapkan makanan di dapur. Sesekali, Nada bertanya tentang hari-harinya. Tentang kegiatannya di sekolah, atau tentang perkembangannya. Selalu ada obrolan di antara mereka, dan Nada merindukan hal itu.
Tidak seperti anak laki-laki lain yang sering beraktivitas di luar ruangan, Nada tahu, Nevan lebih memilih untuk berada di rumah. Selain karena penyakitnya, Nevan juga selalu berkata bahwa ia membiasakan diri untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Katanya, agar suatu hari nanti, ketika ia menjadi seorang suami, ia dapat sesekali membantu pekerjaan rumah istrinya.
Tetapi, nyatanya, Nevan bahkan tidak dapst merasakan semua itu. Semua hal yang pernah ia katakan, semua mimpinya, tidak akan pernah terwujud ketika penyakit yang dibawanya sejak lahir itu semakin parah dan akhirnya merenggut nyawanya.
Nada meraih secangkir teh yang ada di dekatnya dan menyesap isinya perlahan. Sore ini hujan, dan suasana terasa sangat dingin karena ia hanya sendiri. Rafa sedang ada praktik di rumah sakit.
Rasanya, seperti ada lubang kosong di dada Nada. Rasanya begitu menyakitkan ketika menyadari bahwa semua hal indah yang pernah dilaluinya, tidak akan terulang lagi.
Jika biasanya Nada akan duduk di hadapan Nevan saat menunggu Rafa pulang, kali ini, hanya ada udara di hadapannya. Jika biasanya selalu ada canda tawa di antara mereka, kali ini tidak ada lagi. Dalam sekejap mata, semuanya menghilang begitu saja.
Bagi Nada, Nevan adalah segalanya. Ia bukanlah wanita yang sempurna. Dan karenanya, Nada dapat merasakan kebahagian menjadi seorang ibu. Meski hanya sesaat, rasanya sangat membahagiakan.
Perlahan, Nada bangkit. Ia berjalan menuju kamar putranya yang saat ini terasa kosong karena sang pemilik sudah pergi untuk selamanya. Meski rasa sesak itu masih menyiksa, Nada masih suka untuk sekadar berbaring di sana. Menatap langit-langit kamar.
Nada duduk di atas ranjang. Ia meriah sebuah pigura yang terletak di atas nakas. Netranya menelusuri foto yang ada di sana. Itu adalah fotonya dengan Nevan yang diambil beberapa hari sebelum senyum laki-laki itu terenggut karena perdarahan di otaknya.
Ibu jari Nada mengusap pigura itu. Seolah sedang mengusap wajah anak yang sangat dirindukannya itu. Senyum tidak juga luntur dari wajahnya. Tetapi, air mata makin deras mengalir dari pelupuk matanya. Rasa rindu itu makin membuncah, menyesakkan dadanya.
Sayang, Bunda kangen.
*****
A/n
Udah, ah.
Double update, khusus malam ini doang :"
Iya, tahu, makin lama makin ga jelas ini cerita :"
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018