Bunda benar-benar terkejut ketika melihat Adriell mendudukkan tubuhnya di rumput. Memang, sedari tadi, Bunda dan Nada mengikuti ke mana Adriell dan Nevan pergi. Segera saja, Bunda menghampiri Adriell ketika tiba-tiba saja, laki-laki tergeletak di rerumputan. Nevan di hadapannya berusaha meraih Adriell dengan tangan ringkihnya.
Beberapa orang yang berlalu lalang tampak melihat sekilas saja, lalu kembali berjalan. Seolah, tidak peduli dengan laki-laki yang tak sadarkan diri itu. Plus, tidak juga peduli dengan tatapan menyedihkan dari laki-laki yang duduk di kursi roda.
Ketika mendengar suara orang mendekat, Nevan lantas menatap ke asal suara. Manik matanya yang berkaca-kaca tampak menyedihkan.
"Bun-da ... Ka-kak ..." lirih Nevan.
Bunda meraih tubuh Adriell. Ia berteriak memanggil pertolongan. Barulah setelah itu, beberapa orang berhenti berjalan dan membantu Bunda.
Sementara Nada berlutut di hadapan Nevan. Laki-laki itu tampak seperti berusaha menahan air matanya. Nevan berusaha meraih tangan Nada.
"Kita ke kamar, yuk," ajak Nada. Ia tersenyum lembut dan mengusap rambut Nevan. "Kamu butuh istirahat."
Nevan menggeleng. "Aku ... ma-u Ka-kak!" Nevan berseru. Meski ucapannya masih sedikit terbata.
Nada mengangguk pelan. "Istirahat dulu, ya." Dengan paksa, Nada mendorong kursi roda Nevan. "Pikirin kondisi kamu juga!"
Nevan pada akhirnya diam. Ia membiarkan Nada mendorong kursi roda Nevan. Sesekali, ia mengusap puncak kepala putranya itu dengan lembut.
"Bun-da ... aku ta-kut."
Samar-samar, Nada mendengar Nevan berbicara. Ia lantas mengembuskan napasnya lesu. Nada tahu, sejak Adriell dinyatakan sakit beberapa saat yang lalu, secara diam-diam, Nevan memang mengkhawatirkan saudara kembarnya itu.
Hanya saja, Nevan mempunya gengsi yang tinggi. Ia lebih memilih untuk bertanya pada Shyra daripada harus bertanya langsung. Baru kali ini Nevan mengucapkan rasa takut dan khawatirnya secara langsung.
Nada lantas tersenyum geli. Ia mengusap pundak Nevan dengan lembut. "Kamu tahu 'kan, kalau Kakak kamu itu kuat?"
Nevan mengangguk pelan. Ia tersenyum tipis, meski Nada tidak dapat melihatnya. Nevan yakin, Adriell pasti akan bertahan.
Karena ia tahu bahwa Adriell adalah laki-laki yang kuat.
Dan Nevan tidak dapat memungkiri hal itu.
***
Keadaan Adriell benar-benar memburuk.
Dari hasil pemeriksaan, terdapat cairan di dalam pleura-nya yang menyebabkan Adriell tidak dapat bernapas. Sehingga, di daerah intercosta ke lima dan ke enam dipasangkan selang atau yang disebut water seal drainage.
Bunda lantas meringis pelan ketika dokter memberi tahu kondisi Adriell. Chiko yang ada di sebelahnya langsung mengusap pundak Bunda perlahan. Berusaha menguatkan Bunda, sekaligus mengingatkan Bunda agar tidak terlalu bersedih. Mengingat janin yang ada di dalam kandungannya pasti akan terganggu.
Bunda menoleh ke arah Chiko, dan tersenyum tipis. Selanjutnya, Bunda kembali berdiskusi dengan dokter mengenai tindakan yang akan dilakukan selanjutnya. Sebagai seorang ibu dan seorang tenaga kesehatan profesional, Bunda pun mengetahui tindakan terbaik untuk anaknya.
Setelahnya, Bunda hanya bisa duduk di ruang tunggu. Meski sebenarnya Bunda ingin melihat Adriell, Bunda juga tidak tahan saat melihat kondisi putranya itu.
Sejak dulu, Bunda tidak pernah berpikir akan melihat kondisi Adriell yang seburuk itu. Bunda tidak pernah ingin melihat putranya terbaring dengan keadaan mengenaskan seperti itu. Dan karena egonya tersebut, Bunda lebih memilih untuk bersama Adriell dibanding bersama Nevan.
Hanya karena tidak ingin melihat kondisi putranya memburuk, Bunda memilih untuk meninggalkan Nevan dan berusaha melupakannya. Menekankan pada dirinya sendiri pada Bunda hanya memiliki satu anak. Walau pada akhirnya, hal tersebut tergoyahkan. Pertama, saat mendengar bahwa mantan suaminya akan menikah. Dan kedua, saat pertama kali mendengar kabar bahwa Adriell didiagnosis menderita penyakit yang mematikan.
Tanpa Bunda sadari, likuid bening sudah mengalir dari sudut matanya. Bayang-bayang masa lalu tentang kedua putranya saat masih kanak-kanak terbayang jelas. Seolah, Bunda sedang menonton kepingan memori itu.
Bunda ingat tangis pertama keduanya. Bunda ingat tatapan mata keduanya dan senyum manisnya ketika Bunda mengajak keduanya untuk berbicara. Semuanya masih terekam jelas di ingatan Bunda.
Perlahan, Bunda mengusap perutnya yang membesar. Tinggal menunggu hari kelahiran anak ketiganya itu. Tanpa sadar, Bunda tersenyum miris.
Kakak ...
tunggu Adek, ya.
***
Adriell menyernyitkan keningnya, menahan rasa nyeri di dada. Sekaligus, menahan nyeri di salah satu bagian tubuhnya yang dilubangi. Ia mendesah pelan. Menyadari bahwa dirinya kembali ambruk karena penyakitnya dan melihat sebuah selang dimasukkan ke dalam tubuhnya, cukup membuat Adriell merasa cemas.
Apa keadaannya kembali memburuk?
Perlahan, Adriell mengangkat tangannya yang tidak tertusuk oleh abocath, lalu mengurut pangkal hidungnya perlahan. Seingatnya, Adriell berada di taman bersama Nevan. Ia sedang menunggu penerimaan maaf dari Nevan. Tetapi, karena sakit yang teramat sangat di dadanya, kesadaran Adriell terenggut.
Untung saja, Bunda dan Nada mengikuti mereka. Adriell mengetahui hal itu. Karena pada dasarnya, ia tahu Nada tidak akan membiarkan Nevan hanya berdua dengan Adriell.
Tanpa sadar, Adriell tersenyum tipis. Ia tidak perlu khawatir dengan keadaan saudara kembarnya itu saat ini. Adriell yakin, Nevan berada di tempat yang aman saat ini. Yang perlu ia khawatirkan adalah keadaannya sendiri. Karena ...
apa-apaan selang ini?!
*****
A/n
Tahukah kamu? Sebenarnya, rasa takut yang Bunda rasakan, adalah rasa takut yang aku rasakan sendiri :") aku biasa ngeliat pasien dengan kondisi yang parah, tapi, aku ga mau ngeliat orang yang aku sayang berada di posisi itu :") lebih baik aku menjauh.
Anggaplah aku jahat:")
Ngomong-ngomong, apakah yang membuat teman-teman bertahan sampai sejauh ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018