"Kapan, ya ... waktu gue habis?"
Saat mengucapkan hal itu, Adriell tampak santai. Seolah, ucapannya itu tidak berdampak apa-apa pada lawan bicaranya. Padahal, tampak jelas bahwa kelopak mata Shyra melebar penuh keterkejutan. Lalu, Shyra mengerjap beberapa kali.
"Lo ngomong apa barusan?"
"Dua super french fries, satu large cola, satu vanilla ice cream, satu double cheese burger. Ada yang bisa kami bantu lagi?"
Adriell dan Shyra sama-sama menoleh. Yang pertama kali menyadari bahwa mereka masih berada di kafe adalah Adriell. "Udah, Mbak, itu aja," jawab Adriell cepat. Ia meraih bungkusan yang sudah disiapkan. "Makasih, Mbak."
Adriell berjalan menjauh dari kasir, meninggalkan Shyra di belakangnya. Barusan, secara tidak sengaja, ia mengutarakan pikirannya. Dan pikirannya barusan adalah sesuatu yang tidak pantas untuk didengar.
"Dri! Berhenti sebentar!" seru Shyra. Adriell berhenti berjalan, tepat di depan pintu masuk kafe. Dan ketika Shyra sudah sampai di sebelahnya, Adriell kembali melangkahkan tungkainya, kali ini lebih lambat dari sebelumnya.
"Maaf," gumam Adriell singkat.
Shyra menunduk, memainkan ritsleting jaketnya. "Gue nggak tahu alasan lo ngomong kayak tadi itu apa." Shyra menggigit bibir bawahnya. "Gue nggak suka dengernya. Lo tampak menyedihkan kalau lo ngomong kayak gitu."
Adriell mendesah pelan. Ia mendongakkan kepalanya. "Gue emang menyedihkan semenjak gue didiagnosis sakit." Tanpa sadar, Adriell tertawa miris. "Drama banget nggak, sih, hidup gue? Cocok banget, nih, kalau dijadiin sinetron."
Shyra diam. Ia lebih memilih untuk menatap langit. Angin yang sesekali berembus membuatnya menggigil sesekali. Malam ini terasa sangat dingin, dan Shyra khawatir akan keadaan Adriell. Harus Shyra akui, sejak penyakit berbahaya itu menggerogoti tubuh Adriell, ia menjadi lebih awas. Apalagi saat mendengar suara napas Adriell yang terdengar sesak.
"Maaf, ya." Shyra berucap pelan. "Seharusnya tadi kita naik mobil aja. Napas lo jadi sesak."
Adriell memutar bola matanya. "Lo ngomong gitu, gue berasa makin menyedihkan, Ra," balasnya, "udahlah. I'm okay."
"Tapi—"
"Santai aja, Ra. Anggap aja gue nggak sakit apa-apa. Gue nggak butuh perhatian lebih, kok. Makasih udah peduli," potong Adriell cepat. Ia tersenyum lebar hingga matanya menyipit. "Di rumah nanti, kita nonton, ya!"
Shyra lantas tersenyum. "Iya."
***
Setelah makan malam, Shyra dan Adriell duduk bersama di ruang keluarga. Jam yang menempel di dinding di atas lemari kabinet sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan keduanya masih belum juga beranjak dari tempatnya. Baik Shyra maupun Adriell, mereka masih menikmati rangkaian adegan film yang ditampilkan di layar televisi berukuran lima puluh inci itu.
Sesaat, Shyra melirik ke arah Adriell yang masih fokus menonton. Senyum Shyra terbit. Kedua mata Adriell yang bulat tampak sesekali mengerjap.
Ketika merasa seseorang memperhatikannya, Adriell lantas menoleh. Sebelah alisnya terangkat heran. "Kenapa?" tanyanya.
Dengan senyum di bibirnya, Shyra menggeleng. Ia mengambil bantal yang ada di dektnya, dan dipeluknya dengan erat.
"Lo lucu kalau lagi serius," aku Shyra.
"Lah, 'kan gue emang selalu lucu," balas Adriell dengan mata yang mengerling.
Shyra jadi menyesal mengakui hal itu barusan.
Suasana mendadak kembali hening. Suara percakapan hanya terdengar dari televisi. Hingga tiba-tiba saja, Adriell terbatuk beberapa kali. Ia menepuk-nepuk dadanya perlahan. Sesekali, Adriell menarik napas panjang. Tetapi tetap saja, napasnya terasa benar-benar sesak.
"Ra ... tolong ... air," pinta Adriell.
Tanpa menjawab, Shyra bangkit dari sofa dan mengambil segelas air di dapur. Sementara Adriell masih saja berjuang menghentikan batuknya. Ia menutup mulut dengan telapak tangannya. Rasa sakit yang menusuk dadanya terasa makin menyiksa ketika ia menarik napas.
Ketika Shyra kembali dengan segelas air dan menyodorkan gelas itu ke Adriell, ia malah tidak menerimanya. Tubuhnya membungkuk, berusaha menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Peluh mengalir membasahi tubuhnya, meski udara terasa dingin malam ini.
Shyra menepuk punggung Adriell dengan panik. Ia tidak pernah mengalami hal ini, sehingga Shyra benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Melihat Adriell begitu menderita, setetes likuid bening lantas terjatuh dari pelupuk matanya. Shyra takut.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar. Shyra lantas menoleh. Terlihat Chiko berlari menghampiri Adriell dan mengusap keningnya yang dibasahi oleh peluh itu.
Shyra mundur selangkah ketika melihat Chiko mengangkat tubuh ringkih Adriell. Tanpa menatap Shyra, Chiko berjalan dengan cepat, meninggalkannya membeku di tempatnya.
Tanpa sadar, Shyra meluruh. Ia membekap mulutnya, menahan tangis. Shyra benar-benar takut.
Jangan ... pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME
Teen Fiction[Completed] Untuk sekali ini saja, Tuhan, biarkan aku menikmati sisa waktu yang Kauberikan padaku. P r o l o g: 26 September 2018 E p i l o g: 22 Desember 2018