3.6

2.1K 335 34
                                    

Jimin sampai dengan napas ngos-ngosan. Ia mengejar Taehyung, bermodal GPS yang nyala dari ponselnya. Dan benar saja, ia dapati pacarnya meringkuk sendirian di bangku taman kota. Ia berlari dan duduk di sisinya. Memeluknya erat dengan napas lega. Lega sudah temukan kekasihnya yang tadi bikin dia olahraga jantung karena takut. Sekarang sudah di dekapan.

“Aduuh, kamu bikin khawatir!”

Taehyung balas memeluk, “Maaf.”

“Sini lihat,” Jimin menangkup wajah Taehyung dan lihat semua sisinya. Badannya. Tangan dan kakinya. Ia menghela karena tak temukan satu pun gores luka di tubuh kekasihnya. Tetapi itu tak menutupi kalau ia sangat takut Taehyung terluka.

“Kamu, apa yang sakit?”

Taehyung hanya menggeleng lemah.

Kalau begini kan Jimin jadi bingung. Ingin ditanya lebih dalam, dia tak kuasa. Tak enak hati. Dia tahu Taehyung butuh waktu untuk rileks. Tapi ia kepalang khawatir dan penasaran. Kenapa dia jadi diam lesu begini? Kalau tadi sudah drama sekali, kenapa begini? Bukan Jimin harap Taehyung diapa-apakan tapi.... masa’ tidak ada perlakuan apa pun?

Dengan lembut diusapnya pipi Taehyung, “Kalau sudah kuat, cerita padaku.”

“Takut....”

“Kenapa?”

“T-Takut,” hiks. Air matanya turun deras, Jimin sampai kaget. Ia refleks memeluk kekasihnya yang tampak rapuh dan mungil –padahal dirinya jauh lebih kecil. Mendengar tangisnya, dia jadi tak tega. Ingin hapus sedih dan airmatanya. Tapi ia tahu, menangis adalah satu-satunya cara bagi Taehyung untuk luapkan segalanya supaya tenang.

Maka Jimin hanya mengusap kepalanya sayang. Diam dan mendengarkan tangis Taehyung yang pilu dan gemetar. Ingin tertawa gemas karena suaranya tapi ini bukan waktu yang tepat. Jimin merapatkan tubuh mereka dan beri ruang untuk hidung bangir Taehyung bernapas. Sesekali ia menyeka sudut mata dan pipi Taehyung yang basah.

Untuk beberapa kali, punggungnya terasa sakit karena kena cengkeraman jemari Taehyung. Tapi ia tak mengaduh atau mengeluh. Biarkan Taehyung menangis puas-puas.

;

“Sudah tidur?”

Jimin mengangguk di ambang pintu, sembari menutupnya. Melangkah untuk duduk di sisi Namjoon yang menunggu sambil main hape. Wajahnya mengeras karena tahan emosi. Jimin bisa melihat itu, tapi dia diam saja. Jimin tersenyum kecil ketika Namjoon menatapnya tajam. Siap kalau akan dimarahi.

“Taehyung masih syok,”

Ne?”

“Dia punya trauma naik motor.”

Jimin mengerutkan alisnya. Baru pertama mendengar itu. “Tapi Saya pernah beberapa kali mengantarnya dengan motor. Dia juga pernah pesan ojek motor.”

Seketika ia ingat kalau tiap Taehyung dibonceng, pasti langsung lemas gemetaran dan memeluknya erat. Seperti ketakutan dan ia pernah meledeknya soal itu. “Saya baru tahu.”

“Harusnya Tae yang cerita, ini privasi.”

“Iya,” Jimin mengangguk. “Tapi Saya juga tak pernah tanya. Mungkin salah juga karena kurang perhatikan. Kalau diingat-ingat, dia memang tak terlihat nyaman ketika Saya bonceng. Maaf Saya pernah meledeknya saat itu. Karena itu terlihat lucu,”

“Tak apa. ‘Kan tidak tahu.”

Namjoon banting hapenya. Mungkin karena kesal, atau karena pada dasarnya tangannya perusak, hapenya terpelanting jauh. Barangkali sudah rusak atau retak layarnya. Jimin menelan ludah gugup lihat wajah marah Namjoon.

broom broom [minv]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang