4.4

1.8K 277 74
                                    

"Kau kedingingan?"

Taehyung menggeleng pelan, "Tidak. Terima kasih."

Lantas kembali membisu, bersama desau angin yang repetitif. Memainkan helaian rambut yang kian panjang tanpa malu-malu. Taehyung menatap hamparan laut yang luas dan beriak. Silau sedikit menyakiti matanya. Hampir mendekati senja. Matahari sebentar lagi tertelan bulat-bulat. Ada sayup-sayup tawa dari kejauhan, sedangkan Taehyung terjebak dalam kehampaan dan canggung. Rasanya ingin pergi, tapi tak kuasa mengangkat diri.

Sedangkan Jimin tak henti memandangnya, "Kau lapar?"

"Bagaimana dengan kamu sendiri?"

".... maaf,"

"Jangan peduli jika tidak perhatikan diri sendiri."

"Aku tahu." Jimin memeluk kakinya yang ditekuk. Ikut menatap lautan yang bersinar dengan lucunya. Menari-nari seolah minta ia tenggelamkan diri. Rasanya ada lega tetapi secuil bingung dan hampa. Takut itu datang lagi.

Nyaris saja ia terpejam sebelum Taehyung mengusap rambutnya.

"Terima kasih."

"Tidak," Jimin meraih jemarinya untuk digenggam. Tersenyum lembut upaya tenangkan diri. Senyuman dari wajah lelakinya, adalah vitamin terbesar baginya. Dikecupnya tangan yang halus dan wangi itu. "Aku yang terima kasih. Padahal, aku banyak menyakitimu. Ketakutan ini, membuat kamu terluka sendirian. Aku menanggung banyak kesalahan tanpa berani minta maaf. Kalau saja tadi kamu menerima, mungkin aku tak apa. Karena itu salahku,"

Taehyung sedikit tersentuh. "Meskipun yang diucapkannya benar, aku tidak bisa menjalin hubungan tanpa perasaan menyayangi. Sekalipun itu aku hanya mati karena menunggu, mungkin itu lebih baik." Ia tersenyum malu. "Perasaanku padamu, terlalu besar untuk diabaikan. Apalagi diganti. Jadi itu akan sangat mustahil untuk menerima Jihan hyung. Kalau menikah tapi tidak denganmu, aku berpikir itu tak akan sama."

"Oh, Tuhanku."

Mereka berpelukan lama. Jimin menghirup dalam-dalam aroma manis dari kulit dan rambut Taehyung yang selalu membuatnya teringat, kalau ia mencintai orang ini. Sesaat merasa begitu bodoh karena meragu akan perasaannya sendiri. Merasa begitu idiot karena menyia-nyiakan perasaan besar yang dimiliki Taehyung padanya. Merasa begitu tolol karena takut pada hal-hal imajiner. Padahal seharusnya ia hanya perlu percaya dan menjalaninya bersama.

Jimin melepas diri, tangkup wajah Taehyung dan mengecup kedua mata kekasihnya. Lama dan lembut, seakan ia mengecup bongkahan jeli yang rapuh. Terlalu takut merusaknya barang sedikit saja. Bagai sihir, segala beban di pundaknya beterbangan menjadi abu.

"Maafkan aku," Jimin tersenyum. "Bisa kita mulai lagi?"

Taehyung ikut tersenyum. "Kenapa tidak?"





















































































-

"Maaf aku terlambat."

Begitu sampai, lengan Taehyung ditarik lembut. Jimin menatapnya khawatir, merasa ada yang salah dengan raut pucat dan lelah di sana. "Kamu sakit, hm? Kita pulang saja, eoh?"

"Tidak... tadi hanya ada sedikit masalah di kantor."

"Fitting butuh waktu lama, Sayang. Aku tidak tega lihat wajahmu lesu begini."

"Sungguh, aku baik-baik saja." Taehyung menepuk pipi Jimin dan tersenyum lemah. "Karena tak sempat poleskan lip balm, jadi bibirku pucat dan kering. Jangan khawatir, eoh? Lebih baik jangan bertengkar dan segera lakukan. Biar cepat pulang, aku agak mengantuk."

broom broom [minv]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang