8 | Unit kesehatan sekolah; kalimat ‘aku baik-baik saja’ adalah hal yang paling menyakitkan. ✓
°
°
Alya keluar kamarnya tanpa ke dapur untuk sarapan lebih dulu. Dia memilih langsung berjalan keluar rumah, mencari Pak Juned agar cepat mengantarnya ke sekolah sebelum Mamanya mencari dirinya. Namun, yang kini ia lihat malah orang yang ia hindari sejak kemarin malam. Alya mendengus pelan kemudian memutar bola matanya malas lalu berjalan lagi berbalik arah.
"Alya... Mama yang anterin kamu ke sekolah," ucap Melina yang kini sudah duduk didalam mobilnya.
Gadis yangd dipanggil mamanya menoleh malas, tanpa ekspresi ia menaikan kedua alis lalu berjalan menghampiri mobil tanpa menjawab sepatah katapun. Alya langsung masuk dan duduk dikursi belakang.
Melina hanya bisa tersenyum simpul. Ini semua juga karena ulahnya. Mungkin jika dirinya tak terlalu sibuk dengan pekerjaan, putri sulungnya ini tak akan jadi anak yang cuek. Mungkin juga yang dikatakan ibunya kemarin adalah benar. Ia kurang, sangat kurang memberi anaknya kasih sayang.
Melina melajukan mobilnya santai, dirinya sekarang hanya ingin punya waktu berdua dengan sang putri, walaupun untuk mengajaknya mengobrolpun rasanya sulit. Dari kemarin malam Alya begitu menghindari dirinya.
"Eh, Nak, kamu sudah sarapan?" tanya Melina melihat wajah putrinya yang agak pucat.
"Hm..." sahutnya acuh kemudian memainkan handphonenya, tak peduli dengan Mamanya yang sedari tadi mengajaknya mengobrol.
Melina mengangguk paham, ia tau putri bahkan tak sempat ke dapur hanya untuk sekedar minum dan kini malah berbohong sudah sarapan. Melina melirik jamnya yang sudah menunjukkan pukul tujuh kurang. Ia harus bergegas mengemudikan mobilnya agar Alya tidak terlambat.
Setelah bergelut lama dengan macetnya jalanan, Alya akhirnya sampai sekolah. Dia kemudian beranjak dari mobil, tapi sang Mama memanggilnya membuat dirinya menoleh dan kembali terduduk dengan pintu mobil yang sedikit terbuka.
"Ini bekal buat kamu. Tadi kamu pasti buru-buru jadinya lupa sarapan," ucap Melina sembari menyodorkan sebuah kotak makanan, membuat Alya sedikit membulatkan matanya.
Ditatapnya lama kotak makanan, kemudian tatapannya beralih pada Mamanya, lalu dengan senyuman paksa ia mengambil kotak nasi itu kemudian mengangguk dan memasukan kotak bekalnya ke dalam tas.
Melina membuka jendela mobilnya kemudian tersenyum bahagia melihat sang putri yang kini berjalan memasuki area sekolahnya yang mulai sepi. Setelah itu kembali menutup jendelanya dan beranjak pergi.
Sedangkan Alya kini berjalan dengan tatapan kosong. Dirinya jadi bingung sendiri─bagaimana ia harus menyikapi Mamanya. Dia juga tak mau jadi anak durhaka seperti ini. Menghindari Ibu sendiri. Rasanya itu begitu terlihat buruk, tapi ia juga kecewa dengan mamanya, oh bahkan dengan sang ayah juga.
"Kenap lo? Lesu amat," tanya Sisil kemudian memberi Alya jalan untuk duduk ditempatnya.
Tak ada jawaban dari Alya. Gadis itu malah menaruh kedua tangannya di atas meja dan menenggelamkan wajahnya diantara lipatan tangannya.
Sisil jadi mengernyit bingung, "e-eh, lo kenapa? Jangan bikin gue panik, gila." katanya jadi heboh sendiri.
Alya mendongkak menatap Sisil dengan tatapan yang sayu, dirinya kemudian berdiri, "gue mau ke toilet," ucapnya membuat Sisil terlihat lega. Ia lalu berjalan menyusuri koridor yang agak ramai karena hari ini juga sedang bebas. Ia terus berjalan sampai dikoridor yang sepi, kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Bayangan didepannya bahkan jadi kabur, kemudian berganti jadi hitam.