17 | Misalnya; dia berubah jadi monopoli
Pemuda dengan pakaian pasien rumah sakit itu bersandar pada bangsal sambil menatap jendela yang terbuka. Ia tak pernah membayangkan akan ada disini hari ini. Bukannya kemarin semuanya masih baik-baik saja. Namun, kenapa tiba-tiba jadi begini?
Reffal merunduk, menatap lengannya yang harus digips dan memakai arm sling atau penyangga lengan karena tangan kirinya patah tulang. Ia tak ingat detailnya seperti apa. Dirinya hanya merasakan tangan kirinya membentur sesuatu yang keras dan agak tajam. Dan yang dirasakan Reffal sekarang bukan tentang patah tulang ditangannya. Tapi, tentang bagaimana keberlangsungan acara pensi untuk memeriahkan ulang tahun sekolahnya─kemarin.
Bagaimana jalan acaranya? Apakah baik baik saja? Apakah special performancenya masih ada? Apakah teman-teman osisnya bisa meng-handle semuanya dengan baik? Sedangkan dia terbaring lemah dirumah sakit. Atau mungkin acaranya diundur?
Reffal membuang nafas kecil. Mencoba menerima semua ini. Walau (kemungkinan) butuh waktu sekitar tiga bulan untuk dia bisa sembuh. Dia harus tetap sabar. Tiga bulan memang bukan waktu yang singkat. Ia Osis. Ia sibuk. Ia tak boleh terus terusan mengeluh karena patah tulang ini. Ia harus kuat─walau jauh di lubuk hatinya, ia ingin sembuh karena ingin cepat bertemu dengan seseorang.
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka lebar. Ia pikir itu adalah ibunya yang sudah kembali dari membeli makanan. Ternyata bukan. Itu si manusia sialan─Adriel, teman dekatnya.
"HELLO BRO!" sapa pemuda yang baru memasuki kamar Reffal itu dengan riang. Untung saja ini ruang VIP. Jika tidak, bisa diamuk masa dia. Datang-datang langsung rusuh.
Reffal mengubah posisinya jadi duduk bersandar, "ngapain lo ke sini? Ini masih jam belajar!?" tanyanya galak.
"Lo sakit aja galak," katanya seraya menunjukkan cengiran khasnya, "ini gue suruh jenguk sama bu Endah... nih," ucap Adriel menyebutkan nama wali kelasnya seraya mengasongkan kresek putih pada Reffal─yang sudah diyakini isinya pasti buah.
"Simpen lah. Ngapain dikasih ke gue. Lo pikir tangan gue bisa ngambil," katanya memprotes. Padahal dia bisa saja mengambilnya dengan tangan kanan, dasar manja.
"Lha, tangan lo biasa-biasa aja. Gak usah lebay lo undur-undur," balas Adriel.
"Ini udah pake ginian. Lo masih gak liat?!" Reffal dengan agak geram menunjuk pada penyangga lengannya.
Adriel diam lama memandangi tangan kiri Reffal. Ia mengerut kening, seperti tidak asing. Ia sepertiny sering melihat benda ini, walau yang ini memang agak berbeda. "Gendongan bayi?" cetusnya dengan wajah sok polos tak berdosa.
Hening.
Reffal tak habis pikir dengan isi pikiran temannya itu. Apa yang bisa dikatakan dengan gendongan bayi? Apa yang dia lihat? Bedanya jauh sekali.
"Gue numpang ke toilet ya," ucapnya sambil berjalan ke arah toilet, namun terhenti saat akan masuk, "ada titipan kue dari cewe," ujarnya langsung masuk ke toilet.
Mata Reffal membulat. Memandangi Adriel yang kini sudah masuk toilet, kemudian beralih pada kresek putih itu dan mengambilnya. Ia meraba dan berhasil menemukan makanan yang dimaksud.
"Dari siapa?" tanya lelaki itu berteriak.
"Orang yang deket sama lo," sahut Adriel lebih lantang, namun hanya terdengar samar ditelinga Reffal.
"Orang yang deket sama gue," gumannya berpikir, "siapa?"
Mata Reffal melebar, lalu mengerjap beberapa kali. Tanpa sadar, bibirnya tertarik ke atas, samar dan hanya sesaat.