Pekerjaan dan perasaan

723 57 1
                                    

38 | Pekerjaan dan perasaan: minta maaf (lagi)

Dinginnya dinihari ditambah bekas hujan semalam membuat seorang gadis mengeratkan jaket kebesaran yang dipakainya. Gadis itu memajukan diri sambil menatap sejenak pemuda dihadapannya. Ia tersenyum samar kemudian mengalihkan pandangan.

Juan melirik spion motor, tak sadar menarik sebelah bibirnya keatas melihat gadis dibelakangnya sedang memandang kesana kemari dan kemudian memejamkan mata sambil sesekali menghirup udara dinihari ini. Ia lalu memfokuskan kembali tatapannya pada jalanan.

"Baik-baik aja kan?" tanya Juan sambil fokus ke jalan.

Amira terdiam menatap pemuda itu. Ia mengerjap lalu jadi mengerut kening bingung, "apa?" tanyanya tak paham.

"Hati, aman?"

Amira langsung paham. Ia menarik nafas dalam, "boleh gue peluk lo?" tanyanya membuat Juan melebarkan mata dan menjadikan suasana hening begitu saja─walaupun tidak lama. Juan belum menjawab, sampai gadis itu melanjutkan kembali kalimatnya, "ini dingin. Jaket lo gak cukup. Boleh ya, sekali doang. Setelah itu gue akan minta apa-apa lagi dan akan pergi dari kehidupan lo, bahkan Reffal sekalipun," paparnya sendu.

Juan tak tega mendengar itu. Ternyata pertanyaannya membuat luka gadis ini melebar. Juan bersalah. "Boleh. Peluk gue seerat lo. Asal jangan pergi dari kehidupan siapapun bahkan sahabat lo sekalipun," ujarnya sambil mengelus sesaat lutut Amira.

Amira tak membalas. Kini malah membuang nafasnya berat, kemudian lebih memajukan diri dan memeluk Juan dengan erat. Ia juga menyimpan dagu di bahu Juan sambil menatap lentik bulu mata pemuda itu.

"Lo sama sakitnya kaya gue? Atau mungkin lebih sakit?" tanya Amira kini menatap wajah Juan dengan lekat.

"Kita mah tektok. Gak ada sakit-sakitnya," sahut Juan seraya terkekeh geli membuat Amira memukul keras paha Juan─bahkan sampai berbunyi kencang.

"Alah Mir, galak banget sih. Ini beneran sakit.. astaghfirullah Juan gak pernah jahat ke orang lain ko, Bu..." racau Juan sambil mengelus-elus pahanya.

Amira tak mempedulikan racau-an pemuda itu. Ia kembali memeluk Juan dengan erat. "Hebat ya.. Juan Leonard rela dimaki sama Amira demi Alya," katanya tersenyum sesaat, "makasih ya, sudah melindungi dia dan menjadikannya yang spesial... bahkan saat lo tau dia bukan untuk lo," ujarnya menggantung, "lo terlalu hebat. Banyak orang yang akan datang untuk menemani lo sampai tua nanti," Amira menatap Juan lekat dengan senyuman yang merekah.

Juan tak bisa untuk tak tersenyum. Walau kenyataannya menyakitkan, ini memang mampu membuatnya sadar diri. Terus hidup dalam ekspetasi tak akan membuatnya bahagia dengan kenyataan yang ada. Juan berterimakasih untuk ini.

"Semangat ya," ucap Amira dengan suara yang lembut.

°°




Suasana kamar ricuh saat dua orang yang seharusnya serius malah jadi ribut dan kejar-kejaran. Siapa lagi jika bukan Vano dan Deni. Dua orang ini memang kadang atau bahkan lebih sering terlihat tak berguna dalam persahabatannya. Bahkan saat Sisil, Fajar, dan satu orang lagi sibuk mengatur rencana, mereka malah sibuk berdua─saling melempar bantal.

Namun jangan kira. Setidakbergunanya teman, pasti ada hal yang bisa diandalkan bukan? Seperti dua orang ini, setiap saat mereka memang terlihat tak berguna. Tapi, dengan sangat berani mampu mengajak kedua orang tua Alya untuk mengobrol, membicarakan perihal Alya yang mabuk, bahkan sampai Alya yang ternyata butuh mereka untuk selalu disisinya.

Semua keluh kesah yang Alya curahkan pada mereka, Vano dan Deni bicarakan dengan ketegasannya kepada kedua orangtua Alya. Tak ada yang mereka kurangi atau lebihkan.

alyailshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang