12 | Manusia tertampan sejagat raya; Juan Leonard ✓
Alya duduk di bangku tepi lapangan seraya menatap kosong ke depan. Ia merasa aneh. Untuk apa tadi ia menemui Ketua OSIS-nya hanya untuk meminta bantuan agar dirinya bisa bolos. Sebodoh itu dia─bahkan sampai mengatakan ada pesta minuman disana. Jika nanti OSIS tiba-tiba menggerebek warung Bi Icah, Alya bisa-bisa diamuk masa.
Sisil: lo dimana? hari ini ada ulangan fisika. Kalo lo ga ikut bisa dapet sanksi.
Gadis itu memutar bola mata malas melihat pesan yang datang dari Sisil. Ia berdecak kesal, tak berniat membalas. Ia lebih menatap kosong ke arah lapangan, lagi. Padahal baru beberapa waktu lalu mereka mengobrol tentang perubahan Alya. Kini gadis itu malah kembali ke sikap semulanya. Memang, sikap seseorang tak mungkin bisa dirubah sedemikian cepat.
"Cih, bilang mau ke Bi Icah, malah nongkrong disini." suara serak itu membuat Alya menoleh kaget.
Alya mendengus kesal menatap pemuda jangkung yang kini duduk disebelahnya, "gak jadi. Ada ulangan fisika hari ini."
Pemuda itu melirik sekilas, "terus ngapain kalo ada ulangan malah nongkrong di pinggir lapangan gini? Nunggu berdebu dulu baru masuk kelas?"
Gadis itu hanya diam. Tak tau kalimat apalagi yang harus ia keluarkan dari mulutnya. Ucapan manusia berkelamin laki-laki di sampingnya itu membuatnya terasa seperti sedang lewat di depan ibu-ibu komplek lalu dia diomongin karena gak bilang permisi.
"Lo jarang nongkrong, kenapa?" tanya Juan tiba-tiba kemudian menatap tepat mata gadis itu.
Alya menunduk, menghembuskan nafas berat, "libur dulu lah," ucapnya memberi jeda, "depan lagi ada perbaikan jalan."
Juan menatap kesal gadis itu, "apa urusannya Alya!?" tanyanya geram.
Dengan rasa malas, Alya memutar tubuhnya menghadap Juan. "Lagian baru juga dua hari, belum setahun." Juan hanya diam tanpa membalas. "Bi Icah udah kangen? Atau elo yang kangen?" Alya memainkan kedua alisnya.
"ALYA! JUAN!!!"
Suara panggil bagai menggunakan speaker itu membuat mereka berdua terdiam sejenak─mereka tau suara siapa yang menggema di lapangan ini. Keduanya menoleh pelan pada Pak Ibnu yang kini tengah berkacak pinggang dengan tatapan mata yang begitu menusuk.
Juan dan Alya masih duduk ditempatnya, hingga kemudian keduanya mengalihkan lagi pandangannya ke arah lapangan. Lalu mereka saling tatap─berdiskusi dari hati ke hati dan menghiraukan Pak Ibnu yang kini sudah tak bersuara lagi. Namun, yang kini bisa mereka harapkan adalah Pak Ibnu tiba-tiba dipanggil oleh guru lain atau siapa saja yang penting gurunya itu pergi.
Keduanya bernafas lega karena dua menit berselang, suara Pak Ibnu tak lagi terdengar. Alya mengalihkan pandangan─mengehentikan diskusi tak jelas yang malah membuat keduanya awkward.
"Al..."
"Iy─AAARGHHH!!" Alya menjerit sekaligus kaget. Ia menoleh sambil berusaha melepaskan jeweran Pak Ibnu ditelinganya. "Lepasin Pak, ini beneran sakit, gak pura-pura kaya cinta dia." racaunya tak karuan.
"Iya Pak. Buset... ini pedes banget ngejewernya." Juan yang notabenenya adalah laki-laki tulenpun ikut meracau karena jeweran Pak Ibnu yang sangat luar biasa pedasnya.
Pak Ibnu tak menghiraukan racauan mereka berdua, "jam pelajaran siapa sekarang!?" tanyanya galak.
"Lepasin dulu Pak, baru kita jawab," ucap Juan serak sambil sesekali meringis.
"Iya Pak," imbuh Alya.
Pak Ibnu membuang nafasnya jengah, kemudian melepas jewerannya. Ia lalu memegang bahu mereka berdua agar tidak kabur.