33 | Hoodie hitam; dugaannya benar ✓
Gadis dengan rambut sebahu itu menutup pintu sambil kemudian melepas tudung hoodie dari kepalanya. Ia kini meraih handphone, lalu menekan beberapa huruf pada keyboard untuk membalas pesan dari pacarnya dengan kakinya yang terus melangkah menuju kamar.
Gadis bernama Sisil itu langsung membuka pintu kamar setelah tepat berada didepan sana. Sisil melangkahkan kaki beberapa, hingga kemudian terdiam sejenak menatap meja riasnya.
Sisil menghembuskan nafas kemudian, kini melangkahkan kakinya kembali, "gue pikir kamar gue ada penunggunya." Ia harusnya tak kaget lagi dengan kahadiran gadis itu di kamarnya. Mamanya memang selalu menyuruh gadis itu untuk langsung ke kamar Sisil ketika dia tak ada.
Gadis dengan rambut terurai panjang ditambah kaos putih polos itu masih diam ditempatnya, sambil terus menatap diri-terlebih lagi wajahnya, "kalo pas sekolah rambut gue diginiin, orang-orang bakal pingsan gak sih?" tanyanya kini masih menatap cermin.
Sisil berjalan mendekat kasur, kemudian duduk disana dan menatap gadis itu dengan senyuman samar, "gak usah, mending kucir aja," katanya menyahuti, "lo rambut digerai gitu nongkrongnya di taman belakang sekolah, mang Rahmat nanti panik," lanjutnya.
Kemudian suasana jadi hening. Hingga tak lama, Sisil kembali bersuara setelah menatap punggung gadis itu dan menghembuskan nafas kecil, "Mama papa pulang?" tanya Sisil.
Gadis dengan nama Alya itu diam tak menyahuti, bahkan tak menoleh sedikit pun. Dia malah semakin dalam menatap dirinya dalam cermin.
Kata orang, dia ini cantik. Wajahnya sempurna, layaknya bidadari. Rasanya semua orang telah melakukan kebohongan. Alya menatap cermin lama, dengan otaknya yang terus memutar pertanyaan; dimana letak yang bisa dikatakan cantik? Wajahnya suram, bagai gua penuh kelelawar. Tak ada bidadari disana. Yang ada hanya gadis lusuh dengan sejuta luka. Ehm... sebenarnya tidak sejuta, hanya beberapa─namun benar-benar terasa menyakitkan.
Dan Alya pergi ke rumah ini untuk 'setidaknya mengurangi luka itu.
Mama Papa Alya pulang tadi pagi dan begitu dia bangun, dia harus dihadapkan dengan keributan yang terjadi di rumahnya. Kenapa semuanya tak pernah damai? Lebih baik saat cerita ini baru saja dimulai. Mereka pulang lalu memberi perhatian pada anak semata wayangnya ini─walau kadang gadis itu menolak (karena kecewa). Tak seperti sekarang, yang saat pulang malah membawa keributan.
Alya menghirup nafas perlahan, kemudian menghembuskan nya. Gadis itu mengukir senyum diwajahnya sebelum selanjutnya menggeser tubuh 180 derajat menghadap Sisil.
Alya terdiam sejenak, melebarkan mata setelah melihat Sisil yang tak jauh dihadapannya. Gadis itu kemudian mengerjap, "itu hoodie lo?" tanyanya dengan tampang yang masih terkejut.
Sisil melihat hoodienya, lalu melihat pada Alya, "Fajar," sahutnya singkat.
Alya membuang nafas lega, dugaannya benar.
"Tapi itu gue," cetus Sisil membuat Alya kini kembali melebarkan mata, walau dengan tampang polos.
"HA, GUE APA?" tanya Alya jadi tak santai. Kini mendekatkan diri pada Sisil, duduk disebelahnya.
"Yang hari itu berdiri disebelah Yurika," ujar Sisil santai, memberi jeda, "yang hari itu juga liat lo ribut ala anak remaja dipinggir jalan... itu gue," katanya seraya menoleh pada Alya, "dan gue jadi tau... sejak hari itu, lo mulai peduli sama dia. Atau mungkin sebelum itu, lo udah diam-diam peduli sama Reffal??"
Alya meneguk ludah sambil menatap temannya itu. Kenapa ia tak pernah terpikir jika orang dengan hoodie hitam hari itu adalah Sisil. Kenapa Fajar yang jadi tebakannya. Apa karena disebelahnya adalah Yurika? Jadi, dengan percaya diri ia berasumsi bahwa itu Fajar. Hm, pantas saja besoknya Fajar tak cerita diam-diam tentang hal itu pada Alya.