Kita terlalu romantis

793 61 2
                                    

25 | Kita terlalu romantis; padahal hanya sekedar teman

"Gue udah siap, Sil, besok kita berangkat jam berapa?" tanya Vano antusias. Ia telah siap mengemasi barang-barangnya kembali setelah tadi ia keluarkan lagi karena merasa isinya belum rapi. Kemudian tanpa dosa dia mengambil camilan dari meja dengan rakus.

Seperti biasa, mereka kumpul di rumah Sisil. Karena terlalu sering berkumpul disini, orang tua gadis itu sampai sudah wajar dengan keanehan teman-teman anaknya. Kabar baiknya; selain selalu memberi tempat, kedua orang tua Sisil juga jarang sekali ikut campur urusan anak muda. Dan sekarang mereka akan menginap di rumah Sisil agar saat acara camping besok mereka bisa berangkat bersama.

"Jam sepuluh." Sisil menjawab.

"Siang amat. Kita gak sekolah?" tanya Vano tak percaya.

"Lo mau sekolah dulu mah ya sok aja." Juan menanggapi.

"Biasa aja, Jun. Ini pawang nya mana sih lama amat." Fajar mengambil handphone, menelpon Alya yang jelas sudah telat lebih dari satu jam─dari jam perjanjian.

Juan hanya memutar bola matanya malas.

"Kita beneran diajak atau elo yang mau diteminin, Sil?" tanya Deni. Memang aneh. Acara OSIS tapi anak bandel diseret juga buat ikut.

"Pak Ibnu yang minta Deni... gue udah bilang berapa kali??? Pak Ibnu nyuruh kalian nih," Sisil menunjuk temannya satu satu dengan geram. "BUAT IKUT KATANYA BIAR TAU GIMANA RASANYA JADI OSIS DAN GIMANA CAPEKNYA OSIS NGURUS KALIAN. NGERTI LO?!!"

Deni yang kaget jadi reflek mengatakan "Oh," saja. Pemuda itu langsung diam melihat wajah Sisil yang memerah karena geram dengan dirinya.

"KENAPA MENDADAK???"

Sisil, Juan, Deni dan Vano yang menoleh ke sumber suara. Alis yang saling bertaut, membuat sang empu mengerti apa yang dimaksud.

Fajar nyengir lebar, mengangkat jari membentuk huruf V kemudian kembali menelpon dengan pelan.
























Hembusan angin kencang menyeruak masuk kedalam pori-pori gadis dengan kaos putih polos itu. Ia duduk sendiri sambil menyilakan kaki di atas bangku di halaman rumahnya... sembari melamun.

Harusnya hari ini ia ikut dengan teman-temannya untuk camping─acara organisasi yang tak pernah ia sukai. Entah apa yang ada dalam pikiran pak guru itu sampai melibatkan gadis ini dan teman-temannya untuk ikut.

Walau akhirnya ia menolak.

Karena telpon kemarin yang mengatakan orang tuanya akan pulang pagi ini, maksimal jam delapan. Namun, ini sudah jam satu siang dan mereka belum juga pulang.

Apa telpon itu hanya penenang sejenak saja?

Apa janji itu hanya sebuah ilusi?

Apa yang mereka mau sebenarnya???

Alya tak paham.

Semakin hari, waktu untuk di rumah rasanya menjadi tak berguna. Waktu di sekolah pun terasa hampa. Tak ada yang bisa buat bahagia. Semua sama. Tempat sakit semakin dalam.

Alya menoleh. Tersadar suara klakson beberapa kali terdengar ditelinga nya. Ia menoleh ke penjuru rumah mencari Pak Juned yang biasanya duduk bersantai tak jauh dari gerbang.

Gadis itu mengerjap, tiba-tiba senyumnya merekah, ia berdiri tegap dan langsung menuju gerbang kemudian membukanya perlahan. Raut wajahnya berubah kecewa sesaat─ekspetasinya salah. Namun, tak lama ia mencoba kembali tersenyum.

Alya mendekat saat tau siapa yang datang, "ngapain? Emang gak sibuk?" tanyanya saat pemuda itu membuka helm fullface-nya.

Pemuda itu tersenyum, ia mengambil bingkisan yang digantung di stank motornya. "Mau jalan-jalan... bosen sekolah gurunya gak masuk semua.... nih," ujarnya sambil memberikan kresek isi martabak manis pada Alya.

"Lo gak ikut?" tanya pemuda itu tiba-tiba membuat kedua alis Alya terangkat, menanyakan.

"Juan sama yang lain pergi, lo doang yang enggak, kenapa?" tanyanya lagi, membuat Alya merasa tersudut. Jika diingat lagi, ia menolak dengan alasan yang tak jelas.

"Ada lo disini, kenapa harus repot pergi kesana?"





























"Dia ada urusan keluarga. Lagipula dia udah gak sebandel dulu. Gak perlu pelatihan kaya gini lagi. Yang masih berontak itu kita. Jadi latih kita-kita aja supaya bisa jadi murid kaya apa yang lo sama Pak Ibnu mau." rahang pemuda itu menegas. Suaranya yang serak membuat kharisma seorang Juan leonard benar benar terasa.

Juan berdiri disana, ditepi lapangan dengan sang ketua Osis dihadapan dan juga Sisil disebelahnya. Dari sejak datang mereka baru bertemu sekarang, dijam yang hampir malam, dan pemuda yang menjabat sebagai ketua osis itu langsung menanyakan keberadaan Alya membuat Juan merasa tak suka.

Reffal terdiam sejenak, kemudian jadi beralih pada Sisil, "lo jadi panitia. Sebelum gelap, rapat dulu diruang osis," katanya kemudian beranjak setelan Sisil mengangguk mengiyakan.

Sisil menatap pemuda disebelahnya yang kini memasukkan dua tangan kedalam saku celananya dengan tatapan yang masih tak suka melihat Reffal. Sisil menepuk pundak pemuda itu membuatnya langsung menoleh.

"Jaga emosi lo. Bentar lagi gelap. Sekolah selalu punya cerita lain, jangan sampe lo kenapa-napa," kata Sisil mengingatkan. Juan tersenyum lebar lalu mengacak pelan rambut sahabatnya itu membuat Sisil berdecak.

"Perhatian gini jadi makin sayang," goda Juan jadi mesem-mesem memandangi Sisil.

Gadis itu meninju keras perut Juan membuat pemuda itu meringis memegangi perutnya, "sakit, Sil," katanya jadi manja, terjongkok begitu saja. Namun tak membuat Sisil peduli dengan itu.

Juan masih merunduk, sok meringis, padahal Sisil tak memukulnya bagai petunju. Pukulan perempuan harusnya tak sebanding dengan tenaga lelaki. Jadi Sisil tak sepeduli itu dengan Juan walaupun tetap merintih menahan sakit.

Tapi lama-lama Sisil tak tega juga. Gadis itu berjongkok, memegang kedua bahu sahabatnya itu dari samping dan membantunya untuk berdiri. Walaupun berikutnya pemuda itu malah melingkari tangannya diperut Sisil dan tersenyum lebar.

"Apa?" tanya Sisil santai, namun raut wajahnya jelas tak memperlihatkan aura perdamaian disana, "lepasin." ucapnya kesal.

"Nggak mau," suara Juan berubah seperti anak kecil yang menolak ajakan Ibunya untuk pergi. Pemuda itu masih dengan tangan yang melingkar diperut Sisil.

Untuk ukuran sabahat, perlakuan seperti ini terlalu romantis.

"Kita ini terlalu romantis, Sil, makanya Alya cemburu," celetuk pemuda itu membuat tatapan Sisil makin sinis dan refleks menjauh dengan kuat membuat pelukan itu lepas.

"NAJEESS JUN NAJEESS."

"Lupa, Sil... lo dah punya Arkhan," katanya tersadar begitu saja sambil melepaskan lingkaran tangannya dari perut Sisil membuat gadis itu jadi terdiam.

"Gue baru inget," ucap Sisil pelan.

"Gue juga," ucap Juan jadi ikut ikutan.

Kemudian hening lama hingga mata mereka saling pandang... menyadari satu keanehan yang terjadi beberapa waktu lalu.



"Alya sama Diaz?"

•••

alyailshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang