37 | Nostalgia ✓
Hari-hari berlalu, bukan berarti masalah sudah selesai begitu saja. Terhitung sudah tiga hari sejak hari dimana Alya ditampar dan dimaki, gadis itu kini tinggal dengan sang Oma di rumah Kakeknya. Cukup jauh dengan rumah Mama papanya, juga dengan suasana kota yang sedang ia hindari.
Walaupun awalnya tak mau dan lebih memilih tinggal dirumah Fajar, tapi dirinya tak tega saat melihat sang Oma menangis agar Alya mau kembali. Akhirnya dia mau bertemu dengan sang Oma dengan alasan tak mau tinggal di rumah. Karena itu Omanya membawa dia ke rumahnya.
Dan selama itu Papah dan Mamanya tak juga datang hanya untuk sekedar menemuinya. Apalagi memohon maaf.
Duduk dikursi halaman depan rumah menjadi tempat yang pas untuk Alya. Ia meneguk ludah, dengan tubuh yang disandarkan, ia menatap sendu langit yang terlihat cerah ini. Bukankah menyedihkan saat cuaca cerah, namun hatinya mendung.
Alya tersenyum kecut saat tiba-tiba otaknya mengulang kembali kejadian hari itu─seperti sebuah film dokumenter yang terus terputar dikepalanya. Ia menggeleng cepat kemudian mengambil handphone saat suara notifikasi masuk, bersamaan dengan suara klakson yang terdengar tak hanya sekali. Ia berdiri dan menoleh ke arah gerbang.
Gerbang setinggi dada Alya itu langsung memperlihatkan sebuah mobil dibaliknya. Sampai kaca mobil terbuka perlahan dan langsung memperlihatkan Sisil disana, disebelahnya ada Juan yang memegang kemudi. Juan menoleh melambai tangan kemudian fokus kembali. Alya tak membalas, langsung membuka gerbang dan mempersilakan masuk.
Alya berdiri tak jauh dari area mobil parkir. Sisil turun dan agak berlari menghampiri Alya dan langsung memberinya pelukan hangat. Tanpa ragu Alya membalas─walau tak mengeratkan.
Sisil melepaskan pelukan, kemudian memegang kedua bahu Alya, "kita mau nginep. Nanti malam kita party, yeayyy!!!" riangnya sambil melepaskan pegangannya.
"Girang banget kaya anak tadika mesra dikasih liat mobil bomber," celetuk Fajar yang sudah turun dan akan mengeluarkan barang bawaan.
"Dih, mabok Upin Ipin," celetuk Vano membalas.
Alya terdiam dengan mata yang terpaku pada satu arah disana. Matanya belum berkedip sejak Fajar bersuara tadi, "emang besok gak sekolah?" tanyanya datar kemudian mengalihkan.
"Coba tanya osis-osisnya nih," Juan melirik tiga osis yang ada disini bergantian. Hingga kemudian dia menatap gadis yang menatapnya bingung. Juan tersenyum, "coba Amira sebagai wakil ketua osis bisa dijelaskan," ucapnya membuat Amira yang berdiri didepan pintu mobil makin bingung.
Amira merasa gugup. Dengan detak jantung yang tak tenang, ia coba menjawab, "mm.. itu, sekolah kita dipake buat festival olahraga antar sekolah," jelasnya kaku.
Alya mengerjap. Ia tak percaya akan ada Amira mendatanginya, bahkan nanti tidur dalam satu rumah. Apalagi Reffal. Ini benar-benar tak pernah ada dalam bayangannya. Dan untuk apa? Untuk apa dia dan mereka semua kesini???
Alya mengalihkan tatapannya dari Amira, "terus osis?" tanyanya masih datar seraya menoleh pada Sisil yang kini sudah berdiri disebelahnya.
"Ada bawahan, kenapa harus repot ketua yang turun tangan," sahut Reffal seraya membawa barang mendekat dan menyimpannya dilantai teras.
Gadis itu mendecih membuat Reffal menoleh tersenyum samar karena mendengarnya.
"Ini acara bukan cuma satu sekolah. Jadi, panitianya juga bukan kita." ucap Reffal namun masih belum bisa dimengerti.
"Nggak ngerti."
"Tolol banget si." celetuk Vano membuat Alya mendelik.
"Kemarin setiap ketua osis kumpul buat nentuin ketua panitia. Tapi, si anjing malah gak dateng, jadilah dia dicoret. Tolol banget, mana Amira jadi kena imbasnya juga lagi." terang Vano emosi. Pemuda yang satu kelas dengan ketua osisnya itu langsung mendapat tatapan sinis dari semua pasang mata yang ada disana.