34 | Drama kehidupan; kaos nyeplak
Setelah pulang sekolah seperti ini, Alya sebenarnya malas keluar kamar jika bukan untuk karena sang Oma. Apalagi hari ini kedua orang tuanya tengah berada dirumah. Ayahnya tengah berada diruang tv dengan laptop yang menjadi fokusnya. Sedangkan Mamanya tengah memasak di dapur, namun dengan handphone yang dia jepit antara telinga dan bahu─tengah mengobrol dengan rekan bisnisnya.
Pertanyaannya; untuk apa mereka pulang jika pekerjaan kantor yang mereka lakukan? Sebanyak itu kah? sampai mereka tak punya waktu untuk istirahat.
Alya mendengus pelan, berjalan menuju kursi teras menemui Omanya. Alya membuka pintu, gadis itu menatap ke awan. Hari ini cuaca sedang kurang bagus. Dengan awan yang mendung, angin tak jarang datang. Ditambah guntur yang sesekali terdengar walau tak terlalu keras.
Alya menoleh melihat Omanya yang tengah menatap dirinya begitu dalam dengan senyuman tulus yang terpatri diwajahnya. Ia lalu duduk. Membalas senyuman tulus itu dengan senyumannya paling manis. Alya sebenarnya ingin menangis. Sebab, semakin dalam menatap Omanya, semakin teriris hatinya. Siapa sangka, wanita yang sudah berumur itu adalah satu-satunya orang tua yang selalu setia dengan Alya.
"Oma baik?" tanya Alya. Sang Oma tersenyum mengangguk.
Setelah pertanyaan itu, keduanya dikagetkan dengan sambaran petir yang begitu keras, ditambah angin kencang yang kini datang. Awan pun semakin gelap. Membuat gadis itu merasa tengah berada dalam drama.
"Didalam saja," ajak Oma.
Alya memapah Omanya yang masuk lebih dulu ke dalam rumah dan langsung duduk diruang tamu sana. Alya terdiam di ambang pintu sambil memegang handle pintu─menatap sebentar awan yang semakin menghitam, kemudian bersiap menutup pintu itu dengan rapat.
"Tunggu, Non," tertahan. Suara Pak Juned membuat Alya menoleh ke sumber suara.
Sekarang gadis dengan celana pendek dan kaos kebesaran itu terdiam membisu. Matanya tak lepas menatap pemuda dengan jaket bomber army dibalik Pak Juned. Hatinya berdesir. Untuk apa dia kesini? Waktunya sangat tidak tepat.
"Silahkan, A," Pak Juned mempersilahkan pemuda itu untuk menemui Alya. Sedangkan dia kini duduk dikursi teras dengan santainya.
Pemuda itu berjalan mendekat. Matanya memperhatikan gadis itu sebelum kemudian beralih pada Pak Juned.
"Masuk aja, Mang. Ini saya bawa martabak, spesial buat yang dirumah," ajak pemuda itu seraya memperlihatkan kresek putih yang digadang-gadang isinya adalah sebuah 'sesajen' ketika mendatangi rumah mertua.
Alya mengerut kening memperhatikan itu. Kenapa jadi dia yang mengajak Pak Juned masuk seakan ini adalah rumahnya.
"Oh, ya pasti spesial kalo non Alya mah," sahut Pak Juned sedikit menggoda.
"Maksudnya buat Mang... siapa?" pemuda itu jadi bertanya mengingat tak tau nama lelaki yang sudah berumur itu.
Pak Juned jadi berdiri, merapikan baju, bahkan membenarkan rambutnya, "Justin bieber," katanya sambil mengasongkan tangan yang langsung dijabat oleh pemuda itu, "dipanggil... Juned," lanjutnya sambil menampilkan cengiran lebar setelahnya. Keduanya tertawa pelan setalah itu.
"Oh, saya Asep," kata pemuda itu memperkenalkan diri.
"Fal..." panggil Alya. Dia menatap pemuda itu, merasa linu sendiri. Sedangkan pemuda yang dipanggil malah menatapnya dengan tampang bingung. Diikuti Pak Juned juga.
"Kresek lo isinya berat. Pegang pake tangan kanan." Alya kali ini memerintah dengan tegas. Ia sebenarnya bisa saja mengambil alih kresek itu. Tapi nanti bisa-bisa dia ke-geer-an.