5 | Ekspetasi & Realita ✓
Ekspetasi hari ini mengatakan; disiang yang benar-benar terik ini, berlindung lah kalian didalam ruangan dan nyalakan AC lalu jadikan lantai yang bersih dan luas untuk tempat kalian merebahkan tubuh sambil bermain handphone.
Dan realitanya adalah, mereka harus berdiri dilapangan untuk mendengarkan pengumuman dari kepala sekolahnya. Panasnya makin memuncak ketika Pak Imam naik ke atas mimbar lalu berdiri didepan mik dan mulai mengucapkan kalimat panjang.
Alya melipat kedua tangan didepan dada seraya berdiri bersandar tepat disamping ruang laboratorium, dekat lapang. Walaupun malas dan jengah dengan setiap kalimat basa-basi yang keluar dari mulut kepala sekolahnya, Alya harus tetap memperhatikan karena disebelahnya ada seorang OSIS yang menemaninya.
"Gue ke osis dulu. Muka lo biasa aja, gak usah gitu." Sisil dengan jahil mengusap wajah Alya membuat gadis itu berdecak dan langsung menoleh sinis.
Sisil segara melangkah kakinya meninggalkan Alya. Beberapa langkah, kakinya terhenti. Gadis itu melihat pemuda dengan seragam yang urakan tak jauh melewatinya. Sisil langsung memanggil pemuda itu keras-keras, kalau pelan pemuda itu pasti anteng saja melewatinya.
Juan menoleh malas kemudian mengangkat kedua alis seakan mengatakan apa.
"Mau kemana lo? Ketauan bolos gue bakar lo hari ini juga."
Juan mengernyit, kemudian berjalan beberapa langkah lebih dekat dengan Sisil. "Gue gak mau bolos dan gak mau juga kalau suruh nemenin dia." ucapnya sambil melirik Alya sekilas.
"He, kenapa!?" Nada suara Sisil meninggi. Bahkan sampai membuat orang-orang yang berdiri tak jauh dari mereka langsung menoleh penuh tanya.
"Brandal kaya dia mah gak usah ditemenin."
"Dih, lo gak punya kaca dirumah?!" sahut Alya tak terima.
"Eng...gak..." Juan menggelengkan kepalanya pelan, dengan raut wajah meledek gadis itu. "Beliin dong." ledeknya.
"Bacot." semprot Alya. Ia kemudian pergi meninggalkan Juan dan juga Sisil─yang kini bingung sendiri.
"Kenapa?" tanya Sisil bingung.
"Tanya temen lo lah, ngapain nanya gue," sahut Juan tidak santai.
"Gak usah perang dingin gini. Nanti dia makin gak bisa diatur," pinta Sisil membuat mata Juan melebar, tersentak kaget─walau dalam hatinya juga membenarkan ucapan temannya ini.
"Gue gak kenapa-napa." Juan mencoba mengelak.
"Elo emang gam kenapa-napa, tapi dia yang kenapa?" tegas Sisil. "Jun... satu orang aja dari temennya jauhin dia, dia bakal ngerasa semua orang juga jauhin dia. Jangan bikin dia makin sesak. Dia udah sering ditinggalin orangtuanya, jangan sampe lo ikut ninggalin dia juga." kata Sisil serius.
Alya, Sisil, Juan, Vano, Fajar dan Deni adalah sahabat karib─mereka bahkan menganggap satu sama lain adalah saudara. Walaupun Sisil jarang bergabung dengan mereka semua karena dia satu-satunya orang yang masuk anggota OSIS dan jadi panutan untuk yang lainnya. Tapi, mereka tak jarang menghabiskan waktu bersama diluar sekolah.
Sisil berteman dengan Alya sejak kecil. Dan Sisil lebih tau Alya dari sisi manapun, dibanding keempat temannya. Dari Alya yang masih jadi bocah lugu hingga sekarang punya julukan brandal sekolah pun Sisil tau.
Dan sekarang Sisil juga tau, ada hal yang disembunyikan dari gadis itu dari cara dia berbicara dengan Juan. Karena itu, Sisil menekankan Juan untuk tidak terlalu menghakimi Alya dengan adu mulut seperti tadi.
Sisil tak pernah melarang Alya untuk melakukan apapun. Walaupun teman, rasanya ia tak punya hak untuk mengatur kehidupan orang lain. Sisil membiarkan Alya melakukan semuanya dalam batas wajar. Jika memang sudah melebihi batas, Sisil pasti akan bertindak─Juan dan teman lainnya juga pasti akan melarang. Mereka tak akan mungkin membiarkan gadis kesayangan melakukan hal jahat.
Mata coklat Sisil menatap Juan penuh harap. "Gak usah berantem." pinta Sisil lalu beranjak meninggalkan Juan.
°
Cuaca selalu cerah akhir-akhir ini, tapi tidak juga membuat Alya merasa lebih baik. Kalian tahu perumpamaan langit cerah bisa membuat hati senang? Alya pikir itu adalah kalimat penuh dusta. Ia rasa secarah apapun cuacanya, tak pernah ada yang membuat hatinya senang, langit yang ia tatap dan semua yang ia lakukan terasa membosankan, menyakitkan, dan ia benci semua ini.
Gadis tinggi semampai itu duduk menyilakan kaki di bangku yang memang disediakan di rooftop sekolahnya. Sambil memainkan yoyo yang ia dapat dari hadiah sebuah snack. Ia memperhatikan setiap tarikan yoyo itu, namun yang ada diotaknya malah bayangan pemuda yang tadi baru saja beradu mulut lagi dengannya.
Juan yang dulu pernah meninggalkan apa akan meninggalkannya lagi sekarang? Itu yang Alya pikirkan. Dan sekarang Alya juga tengah bertengkar, Juan mungkin saja akan meninggalkannya lagi karena ini.
"Masih marah??"
Alya mendongkak, kini mendapati pemuda yang tadi dalam pikirannya sekarang berjalan dengan santai ke arahnya. Dan tanpa aba-aba, tatapan sinis langsung terpasang dimata wajah Alya.
"Ya marah lah anjir!" Alya tak tahan untuk emosi saat ini juga. "Lo pikir pas lo ngomong gitu, hati gue gak ada fungsi apa??? 'Dia' bahkan langsung bilang kalo lo orang paling jahat." katanya sok mendramatisir.
Pemuda itu berjalan lebih dekat, kini duduk disamping Alya sambil memandangi gadis itu sambil tersenyum penuh. "Yang bisa gue lakuin supaya tuan putri ini gak marah lagi?" tanyanya lembut.
Alya terdiam sejenak sambil memandang Juan. Hingga pandangannya beralih, gadis itu tersenyum simpul. "Martabak es krim tahu bulat cilor coklat bakso batagor siomay, atau lo loncat dari sana?" paparnya sambil menunjuk ujung gedung.
"He anjir, banyak amat, lo mau syukuran?" Juan memprotes.
"Ya udah sana loncat." Alya kini mendorong Juan agar berdiri dan loncat sekarang juga dari gedung tiga lantai ini.
"Ya udah ayo beli," ucap Juan pasrah.
Alya tersenyum menang. Ia tidak benar-benar ingin semua itu.
Alya masih terduduk saat Juan sudah berdiri dan menyuruh gadis itu untuk cepat berdiri. Alya memasang wajah sok polos, membuat pemuda itu hampir saja berniat melakukan opsi terakhir dari permintaan Alya.
"Al, kalo lo gak berdiri juga, gue mau lompat aja." Juan berjalan ke tepian gedung.
"Jangan diseriusin, goblok, gue cuma becanda." Alya berdiri kemudian menarik Juan.
Juan membuang nafasnya kasar sambil menatap malas temannya itu. "Sabar..." Ia mengusap-ngusap dadanya, "orang ganteng harus sabar."
"Tapi bakso kayanya enak."