5 + 3 = 53 | He

4.3K 540 16
                                    

Angin berhembus pelan menerbangkan helaian rambut gue dengan lembut. Langit kejinggaan telah berganti menjadi kegelapan malam.

Suasana saat ini hening. Gak ada yang percakapan lagi antara gue dan Taeyong, ah mungkin sekarang gue harus manggil dia Kakak.

Walaupun kenyataan ini terlalu berat, gue harus percaya dan gak lari dari kenyataan mau itu sesulit apapun.

Heningnya saat ini bukan keheningan yang bikin gak nyaman. Lebih ke hening yang menenangkan. Baik gue sama Kak Taeyong sedang menikmati kehadiran satu sama lain tanpa perlu perkataan.

Percaya sama ikatan batin antara saudara? Entah kenapa gue percaya sama hal itu. Gue mulai merasakan perasaan aneh. Rasanya sampai gak bisa definiskan.

Tiba-tiba gue membuka obrolan, gue merasa penasaran akan beberapa hal.

"Hnng-- Bunda sama Ayah, apa kabar?" Tanya gue sedikit canggung. Lidah gue juga terasa kelu saat menyebut sebuatan Bunda dan Ayah untuk orang tua yang belum pernah gue temui.

Gue menoleh, lalu gue melihat Kak Taeyong melebarkan pupil matanya, dia terkejut.

Apa ada yang salah sama pertanyaan gue.

"Mereka udah pergi," Jawab Kak Taeyong lirih.

Pergi? Tangan gue terangkat untuk menutupi bibir gue sendiri, gue kaget. Hati gue seketika terasa mencelos, kita belum pernah bertemu... kenapa harus pergi secepat itu?

"Sejak kapan?" Tanya gue dengan suara parau. Ngga, gue ngga nangis. Gue udah terlalu banyak nangis tadi.

"Beberapa minggu yang lalu. Mereka berdua pergi bersamaan," Jelas laki-laki yang berstatus Kakak kandung gue itu. Dia menyugar surai rambutnya, mendongak menatap langit malam yang hiasi oleh awan-awan kelabu.

"Ingat waktu pertama kali kita ketemu di taman? Waktu itu bertepatan dengan kepergian Ayah sama Bunda."

Tangan gue meremas ujung rok gue kuat-kuat. Lihat kan Chiyorie, bukan cuma lo yang tersakiti disini. Gue menunduk, menatap ujung sepatu gue dengan perasaan bersalah yang terus menyeruak.

Gue jahat banget.

Tiba-tiba tangan Kak Taeyong berada di atas kepala gue.

Laki-laki berkulit putih pucat itu tersenyum tulus, tanganya yang besar membelai kepala gue dengan lembut, "Tapi gue gapapa. Setidaknya Tuhan berbaik hati sama gue, Tuhan membiarkan gue ketemu lagi sama lo."

"Apa boleh..." bergumam lirih, namun pendengaran Kak Taeyong yang tajam mendengar gumaman gue.

"Hm?"

"Apa boleh ketemu Bunda sama Ayah?" Tanya gue tanpa menatap wajah Kakak Kandung gue. Terlalu merasa bersalah.

Terdiam, gue bungkam, menunggu dia menjawab pertanyaan gue.

Dia terdiam sekitar 15 detik, tangannya menarik gue masuk kedalam pelukannya. Gue menghirup nafas dalam-dalam, mencoba mengingat aroma musk yang menguar dari baju Kakak gue ini. Tangan Kak Taeyong bergerak mengusap punggung gue dengan hati-hati.

Kak Taeyong berbisik lembut tepat ditelinga gue, "Besok kita ziarah ke makam mereka, ya."

Rasanya lega.

-

Gue berjalan dengan lunglai. Karena udah terlanjur capek, gue tengkurap merebahkan diri gue di atas karpet, gue menjadikan paha Bang Sungwoon sebagai bantalan kepala gue, dan Abang gue itu lagi menonton tayangan sinetron sendirian diruang keluarga.

Brothers Conflict [Wanna One] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang