بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kalaulah aku kumpulkan saat-saat gembira dalam hidupku, semuanya tidak akan dapat menyamai indahnya waktu yang aku habiskan denganmu.
(Anonim)🌸 🌸 🌸
Fikran dan Hana telah meninggalkan area stadion. Mobil yang mereka kendarai melaju dengan kecepatan normal. Fikran memutuskan untuk mengemudikan mobil milik Hana karena ia tidak mungkin membiarkan Hana seorang diri dengan kondisi seperti ini.
Sejak meninggalkan stadion satupun diantara mereka tidak ada yang bersuara. Mereka saling diam. Sibuk dengan pikiran mereka sendiri.
Dalam diamnya, Hana merasa gelisah. Bukan karena rasa takutnya akan kejadian yang baru saja ia alami melainkan karena kondisinya yang tampak sangat berantakan. Jika ia pulang dalam kondisi seperti ini tentu saja akan membuat ibunya menjadi sangat khawatir dan Hana tidak ingin hal itu terjadi. Dibandingkan dengan rasa keterkejutannya ia lebih memikirkan respon dari ibunya saat melihat ia pulang dalam kondisi tak karuan. Hana menghembuskan napas kasar. Pasrah. Biarlah. Ia akan menghadapi semuanya.
Ditengah kemelut pemikirannya, Hana tidak menyadari bahwa mobil telah berhenti di depan sebuah rumah minimalis bergaya klasik.
"Kamu nggak mau turun?"
Hana mendongakkan kepala menatap pemandangan luar melalui kaca jendela.
"Rumah siapa?" tanya Hana menatap rumah yang asing baginya.
"Rumah kita" jawab Fikran Singkat sebelum keluar dari dalam mobil.
Meski ragu, Hana memilih mengikuti langkah Fikran yang berjalan memasuki rumah.
Ini adalah kali pertama ia menginjakkan kaki di rumah ini. Rumah yang dihuni Fikran sejak ia tiba di kota ini.
Hana mengedarkan pandangan saat berada di dalam rumah. Berbeda dari rumah minimalis biasanya. Rumah ini tidak diisi oleh banyak perabotan. Ruang tamunya terlihat lapang tidak ada kursi ataupun sofa yang mengisi. Hanya ada sebuah rak dengan buku-buku yang tertata rapi. Tak jauh dari ruang tamu Hana dapat melihat sebuah ruangan yang ia yakini adalah sebuah dapur. Setelah dapur pandangan Hana tertuju pada sebuah ruangan yang pintunya tertutup rapat. Kesan pertama Hana melihat rumah ini adalah sederhana namun terasa sangat nyaman dan menenangkan.
"Tadi om sudah mengirimi ibu pesan memberitahukan bahwa om mengajakmu kesini" suara Fikran menghentikan Hana dari aktivitasnya menilai rumah ini.
Hana mengangguk. Dalam hati ia mengucap syukur lantaran ibunya tidak jadi melihat kondisi buruknya kini.
"Masuk dan beristirahatlah" Fikran membuka pintu ruangan yang tadi sempat Hana perhatikan.
Hana kembali mengangguk. Ia memasuki ruangan yang tak lain adalah kamar Fikran. Saat Fikran menutup pintu dari luar, Hana kembali mengamati ruangan ini. Tak beda jauh dengan ruang yang ada diluar warna kamar ini pun didominasi oleh warna coklat warna yang Hana tahu adalah warna favorit Fikran.
Hana mengedarkan pandangan, ada sebuah kasur berukuran sedang, dua buah lemari yang berdampingan dan sebuah meja yang di letakkan di sudut ruangan dengan jendela di sisi kanannya. Tak ada televisi, hanya tumpukan buku, tersusun rapi yang paling mencolok di kamar ini.
Hana mendudukkan tubuhnya di atas kasur. Lelah dan penat itulah yang ia rasakan. Kejadian siang tadi benar-benar menguras tenaganya, belum lagi rasa sakit yang timbul akibat terkena lemparan botol dan benda lainnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
HANA (Republish)
SpiritualHana tak punya pilihan untuk menentukan kepada siapa ia akan menjalin bahtera pernikahan. Semuanya telah digariskan. Hana tak pernah tahu nama siapa yang tertulis untuknya di Lauh Mahfuz namun ia tidak pernah menyangka kalau dia lah yang kelak menj...