Sejak kata "sah" telah menggema, maka sejak itu tidak ada lagi kisah tentang aku ataupun kamu yang ada hanyalah kisah tentang kita berdua. Antara kita dan masa depan yang cerah.
***
Pukul 05.40 usai sholat subuh dan dzikir pagi, Hana sudah berada di dapur. Bergelut dengan bahan-bahan membuat nasi goreng beserta perangkat dapur lainnya. Hari ini, tepat satu minggu ia resmi tinggal berdua bersama Fikran. Bukan dirinya yang benar-benar ingin pindah melainkan ibunya yang begitu gencar memintanya untuk pergi, terlebih saat kedua sepupu kembarnya tiba dirumah. Mulai dari cara yang halus hingga memaksa telah dilakukan ibunya agar Hana pindah dengan dalih mengurus rumah dan suaminya sendiri.
"Assalamu'alaikum warohmatullah wabarokatuh" ucapan salam terdengar dari luar.
"Wa'alaikumussalam warohmatullah"
Fikran yang baru pulang dari masjid, berjalan menuju dapur karena aroma wangi yang ditangkap oleh indra penciumannya.
"Masak nasi goreng?"
Hana menatap Fikran sekilas lalu mengangguk dan kembali mlanjutkan aktifitas memasaknya.
"Hari ini ada kegiatan nggak?" tanya Fikran saat Hana telah duduk di depannya membawa dua piring nasi goreng yang masih mengepulkan asap.
"Nggak ada" jawab Hana singkat setelah diam beberapa saat memikirkan bahwa weekend ini dia benar-benar terbebas dari semua kegiatan.
"Alhamdulillah"
Hana menatap fikran saat mendengar kalimat syukur yang di ucapkan olehnya.
"Om mau ngajak kamu jalan hari ini." Fikran menyuapkan sesendok nasi kedalam mulutnya.
"Kemana?" Hana mulai menyantap nasi goreng buatannya.
"Kencan"
"Uhuk,,, uhuk,,,uhuk"
Bergegas Fikran memberikan segelas air pada Hana yang terbatuk, "Nggak pernah ada yang ngajakin kencan ya sampai kaget begitu?"
Spontan Hana langsung menatap Fikran, "Enak aja. Banyak yang ngajak kok sampai ngantri malah." bantah Hana.
Fikran yang mendengar perkataan Hana langsung tersenyum karena ia tahu Hana bukan tipe gadis yang mudah dekat dengan kaum adam, terkecuali lelaki itu, lelaki yang mampu membuatnya bahagia dan terluka disaat yang bersamaan. Fikran langsung menggelengkan kepala, mengingat laki-laki itu membuatnya darahnya mendidih entah karena marah atau cemburu. Setelahnya suasana hening yang sering tercipta diantara mereka selama seminggu ini kembali terasa. Mereka diam menyantap makanan dengan pikiran yang beragam.
Fikran bangkit dari tempat duduknya saat melahap habis masakan Hana. Ia membawa piringnya menuju tempat mencuci piring, "Bersiaplah kita akan pergi pagi ini." Fikran mengambil perabotan rumah tangga yang kotor lalu mencucinya. Hal biasa yang selama seminggu ini dia lakukan. Jika Hana memasak maka dia yang akan mencuci barang-barang yang kotor. Jika Hana mencuci pakaian maka dia yang akan menjemurnya. Jika dia sedang senggang maka dia yang akan menyetrika pakaiannya sendiri. Semua itu dia lakukan karena dia sadar bahwa isteri adalah pelengkap iman bukan pekerja segala kebutuhan. Karena prinsipnya urusan rumah adalah urusan bersama.
Meski diawal Hana sering menolak untuk dibantu olehnya dan bersikeras untuk mengerjakan semua pekerjaan seorang diri namun Fikran keukeh menolak. Selama ia mampu maka ia akan mengerjakannnya tanpa harus merepotkan Hana.
***
Setelah menempuh satu jam perjalanan, Fikran mengemudikan mobilnya menuju area parkir sebuah bangunan yang menyeruakkan wanginya aroma roti. Tidak begitu besar namun gaya klasik yang melekat, membuat bangunan itu terlihat sangat menakjubkan memiliki daya tarik tersendiri berbeda dari kedai roti mewah lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HANA (Republish)
SpiritualHana tak punya pilihan untuk menentukan kepada siapa ia akan menjalin bahtera pernikahan. Semuanya telah digariskan. Hana tak pernah tahu nama siapa yang tertulis untuknya di Lauh Mahfuz namun ia tidak pernah menyangka kalau dia lah yang kelak menj...