32.

3.2K 159 11
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

***

Sore yang cerah, matahari telah condong kesisi barat. Susana yang mendukung dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin bersantai ria.

Hana mengedarkan pandangan kesekeliling, melihat orang-orang yang berkumpul bercengkrama, ada yang berjalan bersama keluarga ada pula yang berolahraga. Pemandangan yang lumrah terlihat di alam terbuka.

"Ada apa Hana?" tanya Bian karena Hana tak kunjung bersuara.

Hana memandang Bian sejenak, kembali mengingat tujuannya datang ketempat ini.

"Apa yang ingin kamu katakan pada saya" Bian kembali bertanya. Ia penasaran sejak Hana mengiriminya pesan untuk bertemu di taman.

Hana teringat pada percakapan terakhirnya bersama Zahra. "Kapan kamu mau cerita ke polisi itu?"

Saat tahu bahwa dia kembali dekat dengan Bian, Zahra berubah menjadi emak-emak rempong yang terus menerus mengusiknya. Setiap bertemu dikampus Zahra akan melayangkan pertanyaan yang sama. Saat chatting, Zahra akan berubah menjadi ustadzah yang terus menerus menceramahinya. Bukan tidak suka karena terus-terusan mendapat ceramah gratis. Hana malah senang karena sahabatnya itu perduli padanya namun jika selalu didesak membuatnya merasa sangat risih.

"Pertama,,," Hana mulai mmbuka suara, "Hana mau minta maaf karena tidak jujur sejak awal. Hana rasa kita sudah melangkah terlalu jauh mas. Kedua, ada hal penting yang harus Hana katakan kepada mas Bian dan tente Ros, karena Hana nggak siap melihat resepon tante Ros, jadi Hana harap mas Bian yang akan menyampaikannya nanti." Hana menarik nafas dalam, bersiap mengungkap kebenaran.

"Sebenarnya Hana sudah me..."

"Honey?"

Deg,,, jantung Hana behenti berdetak. Ia mengenal suara ini. Segera ia berbalik mencari sosok yang memanggilnya. Didapatinya Fikran berdiri tepat di belakangnya.

"Om Fikran?" Hana membelalakan mata. Jantungnya sudah kembali berdetak. Berdetak diatas batas normal.

"Apa yang kamu lakukan disini?" nada bicara Fikran berubah, terlebih saat ia melihat Bian yang duduk disebelahnya.

"Hmmm... i... itu"

"Om Fikran apa kabar?" Bian bangkit menyalami Fikran yang tampak emosi. Ia bermaksud menyalamatkan Hana yang terlihat salah tingkah.

Fikran menjabat tangan Bian, namun tak menjawab. Matanya terus tertuju pada Hana yang menunduk. "Kalian sering bertemu?" Fikran mengalihkan pandangannya menatap Bian.

"Tidak sering om, hanya sesekali." ucap Bian memasang senyum.

Rahang Fikran mengeras. Wajahnya menampakkan raut tidak suka, "Ayo pulang!" perintahnya pada Hana.

"Maaaf om, saya dan Hana masih ada yang ingin dibicarakan. Nanti biar saya yang mengantarnya pulang." cegah Bian meyakinkan.

Kalimat Bian berhasil meyulut emosi Fikran,yang sejak tadi coba ia tahan. "Hana tidak pernah menceritakan kehidupannya selama ini padamu?" tanya Fikran penuh penekanan.

Hana meremas jari-jemarinya. Rasa takut mengerubungi seluruh tubuhnya.

"Dia bilang kalau hidupnya selama ini baik-baik saja, bahkan dirinya dan tante Nur sudah melupakan peristiwa malam itu."

Emosi Fikran memuncak. Rahangnya semakin mengeras. Bahkan tangan kanannya telah mengepal kuat.

Hana menyadari situasi ini akan semakin rumit jika dibiarkan, ia bangkit menggenggam tangan Fikran yang terkepal, "Kita pulang om." ucapnya serak. Lalu menatap Bian yang kebingungan, "Maaf mas, Hana dan Om Fikran harus pulang. Assalamu'alaikum" Hana menarik Fikran untuk menjauh.

HANA (Republish) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang