16

3.3K 173 12
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


🌸 🌸 🌸

Tok tok tok

Bersamaan dengan suara ketukan pintu, suara Nur terdengar "Boleh ibu masuk Na?"

"Masuk aja bu, pintunya nggak dikunci."

Tak berapa lama kemudian tubuh Nur muncul dari balik pintu.

Nur duduk di pinggiran ranjang menatap Hana dalam diam, "Ibu ingin mengatakan hal yang serius nak" ucapnya memecah keheningan.

Deg. Jantung Hana berdegub kencang.

Hal serius apa yang ingin ibu katakan? Apakah tentang hal yang selama ini tak ingin kubahas? Apakahah ibu ingin membicarakan persoalan itu? layaknya sebuah alarm, pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul dalam benak Hana.

"Mau sampai kapan kamu menghindar nak?" Nur berkata lembut.

Hana menatap mata sendu sang ibu.

"Ibu yakin kamu sudah membaca surat dari alm. Ayah" tambahnya lagi.

Kekhawatiran Hana benar-benar terjadi. Kini jantungnya memompa semakin cepat.

"Ibu telah memikirkan hal ini sejak lama bahkan saat ayah masih bersama kita. Terlebih saat Bian tidak datang menepati janjinya. Di malam itu bukan hanya kamu yang menangis, ibu pun ikut menangis. Ibu merasa bersalah pada ayah dan juga dirimu."

Kedua kelopak mata Hana mulai memanas menyaksikan bulir bening jatuh dipipi sang ibunda.

"Ibu tau semua ini sulit bagimu belum hilang rasa sakitmu kini ibu kembali membawa rasa sakit yang lain.

"Surat itu. Surat yang berisi permintaan terakhir ayah, kamu sudah membacanya bukan?" tanya Nur lagi menyentuh pipi putrinya

Hana mengangguk lemah. Membenarkan perkataan Nur.

"Sebenarnya ayah pernah mengutarakan keinginannya itu pada ibu. Tapi ibu menolaknya karena hal itu tidak mungkin terjadi dan kamu pasti tidak akan mau. Namun saat ibu membaca surat yang ayah tulis untuk ibu. Ibu sadar bahwa sebenarnya ayah hanya ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Karena kamu adalah tanggung jawab terbesarnya. Ayah ingin kamu hidup bersama orang yang baik. Dan orang terbaik yang ayahmu pilih itu adalah Fikran orang yang kamu panggil dengan sebutan om." Nur menggenggam tangan Hana yang bergetar.

"Tapi kenapa harus om Fikran bu?" tangis Hana luruh.

"Karena ayahmu sangat mengenal Fikran, Na. Sejak kecil dia telah tinggal bersama kita."

Hana mulai menangis.

"Dalam surat itu ayah mu pasti sudah menjelaskan bahwa antara kamu dan Fikran tidaklah di aliri darah yang sama. Fikran hanya anak angkat dari kakek dan nenekmu. Fikran adalah anak yang mereka adopsi dari Panti Asuhan ketika ia berusia lima tahun.

Hana bungkam air matanya terus terjatuh.

"Ibu tidak ingin memaksakan kehendak begitupun halnya alm. ayahmu. Dia hanya mengutarakan keinginannya melalui surat itu. Dan menurut ibu tidak ada yang salah dengan keinginan itu. Tapi semuanya kembali pada kamu Na, karena kamu yang akan memutuskan. Ibu harap kamu mau memaafkan ayah dan ibu karena tidak memberitahukan kebenaran ini sejak dulu. Dan saat kamu tahu kebenarannya, kamu malah di bebani dengan permintaan ini. Ibu mohon maafkan kami nak." Nur mulai terisak

Hana tetap diam sedangkan Nur menarik nafas dalam untuk kembali berucap.

"Jika kamu tak ingin mewujudkannya, maka itu tidak akan menjadi masalah. Ibu tidak akan memaksa. Carilah kebahagiaanmu sendiri. Tapi ibu mohon jangan mencari seseorang yang tidak tahu bagaimana caranya bertanggung jawab."

HANA (Republish) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang