20

3.3K 181 6
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

🌸 🌸 🌸

"Ra, pulang kuliah ini kamu sibuk nggak?" Hana menatap sahabatnya sekilas lalu kembali memasukkan barang-barangnya kedalam tas.

"Nggak Han." Zahra menjawab singkat.

"Zaaahra" Hana mengayunkan lengan Zahra yang ia genggam.

"Hmmm" Zahra bergumam. Tangan kirinya asik memainkan handphone.

"Ra..." Hana tersenyum manis pada Zahra.

"Jangan bertingkah aneh Han. Kamu mau nyuruh aku ngapain lagi?"

"Kok tau sih?" mata Hana membulat.

"Kalau kamu udah bertingkah kaya gini pasti ada maunya. Dan ujung-ujungnya pasti merepotkan aku." Zahra mendelik pada Hana yang masih memegang tangan kanannya.

Hana nyengir, menampakkan barisan gigi depannya yang rapi.

"Temenin ke stadion yah" Hana mengedipkan mata menatap Zahra.

"Nonton bola?"

Hana mengangguk cepat.

"Nggak mau"

"Ra..." Hana menggelayut manja pada Zahra.

"Kamu kan tahu aku gak suka nonton bola Han" protes Zahra.

"Temenin aku Ra, aku nggak ada teman kesana" pinta Hana memelas.

"Ajakin yang lain aja" Keukeuh Zahra menolak.

"Nggak ada yang mau Ra." Hana melepaskan genggamannya.

"Ya nggak usah kesana." sengit Zahra

"Ra, masa kamu tega sih liat sahabat kamu ini nonton bola sendirian."

"Aku nggak mau Han, disana itu berisik." Zahra tetap menolak.

"Zahra" Panggil Hana dengan lembut.

Zahra menggeleng.

"Ya udah aku pergi sendiri. Assalamu'alaikum"  Hana menghentakkan kakinya meninggalkan Zahra.

🌸🌸🌸

Hana menghentikan mobilnya di area parkir stadion. Ia nekat pergi seorang diri demi melihat tim idolanya bertanding. Hana membuka pintu mobil, ia menarik nafas dalam memantapkan diri untuk masuk. Bismillah, gumam Hana.

Hana telah berada ditribun. Berdiri diantara deretan kursi yang berbaris panjang. Ia mencari bangku berdasarkan keterangan yang tertera di tiketnya. Setelah beberapa menit mencari, Hana pun menemukan tempat duduknya. Ia duduk di barisan bangku kedua. Suara riuh penonton mulai terdengar. Ada yang berteriak menyebut nama pemain idola, ada yang menyanyikan yel-yel dengan berbagai atribut yang melekat di badan dan tepukkan tangan menyemangati tim yang sebentar lagi akan berlaga. Gemuruh antusias suporter nyaring mengudara.

Suasana seperti inilah yang Hana sukai, berada diantara mereka bersorak riang mendukung tim yang di idolakan. Hana hanyut dalam euforia di stadion. Menyaksikan ribuan orang memenuhi arena pertandingan. Satu hal yang tidak Hana sadari ia duduk diantara dua kubu, barisan bangku disampingnya ditempati oleh pendukung tim lawan.

Menit demi menit berlalu dengan ketegangan. Raut optimis dan pesimis terlihat diwajah para suporter. Babak kedua pertandingan akan segera berakhir, namun belum ada satu gol pun yang dapat di cetak oleh kedua tim. Kedudukan masih imbang yakni 0-0. Sorakan bahagia dan kecewa terus terdengar terlebih saat bola berada di area pinalti lawan. Mereka para suporter akan berteriak sekencang mungkin seakan ingin mengeluarkan semua suara yang mereka miliki saat bola terarah kegawang lawan.

Hana tak ikut berteriak ia hanya bertepuk tangan dan berekspresi sewajarnya.

"Ya Febri menggiring bola, di berikan kepada Dani sang kapten, kita lihat kepada siapa bola akan diberikan. Ya disana ada Maman, masih Maman, masih. Ya shooting langsung oleh Maman, daaan GOOOOL"

Gemuruh suara memenuhi stadion. Tim keseblasan idola Hana berhasil membobol gawang lawan di detik-detik terakhir. Teriakan dan tepuk tangan dari para suporter pendukung terus menggaung.

Waktu kritis, permainan berada di menit ke 90, tiga menit lagi setelah waktu tambahan berakhir maka peluit panjang akan dibunyikan.

Hana menggenggam erat botol air mineral yang ia pegang. Entah mengapa, semenjak 15 menit lalu Hana merasa suasana tidak nyaman. Terjadi perubahan sikap dari kubu lawan. Perubahan ini ia rasakan sejak gol terakhir yang dihasilkan oleh tim jagoannya. Tak lama setelahnya terdengar para suporter dari kedua tim saling menyoraki satu sama lain.

Peluit panjang berbunyi nyaring pertanda permainan telah berakhir. Sorak kebahagiaan terdengar dari suporter yang jagoannya menang telak 1-0, Hana tersenyum bahagia, tim jagoannya keluar sebagai juara. Ia merasa tidak rugi karena sudah datang seorang diri. Lengkungan kecil terus tersungging dibibir Hana. Ia merasa puas atas kemenangan yang diperoleh. Itulah suporter meski hanya diam di tempat tak ikut bermain,  namun menjadi orang yang paling bahagia jika tim kesayangannya memenangkan pertandingan. Pun sebaliknya mereka para suporter akan ikut bersedih jika tim yang di idolakan dikalahkan oleh tim lawan.

Euforia kemenangan tidak berlangsung lama karena suasana permusuhan  mulai menjalar diantara dua kubu suporter. Hana yang menyadari kecanggungan itu bangkit berdiri hendak meninggalkan tempat duduknya. Langkah Hana terhenti padahal ia baru saja beranjak pergi. Hana menoleh kebelakang dan mendapati hijabnya tersangkut disebuah kursi. Hana berbalik untuk menarik hijab syar'inya itu tapi entah mengapa hijabnya itu sangat susah untuk dilepaskan. Tanpa diduga suasana antar suporter semakin memanas. Posisi Hana terdesak, hijabnya tak mau terlepas. Sementara Hana masih berada di diantara dua kubu, saling lempar terjadi entah siapa yang memulai lebih dulu. Hana ingin berlari menjauh namun tak ada celah, puluhan orang menghimpit bahkan saling dorong terjadi. "Aduh" Hana meringis kesakitan saat sebuah botol air mineral yang masih terisi penuh, mengenai kepalanya. Hana menunduk takut  memohon pertolongan Allah. "Ya Allah, bantu Hana keluar dari sini." Airmata berhasil lolos dari pelupuk matanya.

Hana terus berusaha menerobos namun kekuatannya tak bisa menggerakkan kerumunan yang saling beradu. Lemparan demi lemparan mengenai tubuhnya, rasa sakit pun menjalar dimana-mana. Hana terlihat sangat kewalahan, tubuhnya lemas tenaganya terkuras karena terus menerobos kerumunan massa. Kedua tangannya bergetar melindungi kepala dari lemparan dan amukan.

"Woy mereka bawa batu, cepat lari" Suara seseorang menggelegar diantara kerumunan.

Hana dan yang lain nya saling tatap mencari dari mana arah batu itu dilemparkan. Mereka berteriak ketakutan bagaimana kalau batu itu sampai salah sasaran dan mengenai mereka yang berada ditengah-tengah keributan. Kaki Hana melemah seakan tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Dari tempatnya berdiri saat ini ia dapat melihat batu sebesar kepalan tangan melintas ke arahnya. Hana menutup mata cepat, mulutnya terus merapalkan doa. Tiba-tiba terdengar seseorang meringis di dekatnya. Hana membuka mata. Mendongakkan wajah dan menangkap wajah seseorang yang ia kenal. Mata mereka saling bertemu, Hana dapat melihat mata coklat itu yang sedikit menyipit karena kesakitan. "Om Fikran?" Hana menatap tak percaya.

Fikran tak bersuara ia menggenggam tangan Hana menariknya keluar dari keributan. Beberapa kali lemparan mengenai mereka. Namun Fikran berdiri dibelakangnya menjadi tameng agar benda-benda itu tidak mengenai Hana. Mereka  berlari hingga suara keributan terdengar samar.

Kini mereka dapat bernafas lega karena telah menjauhi sumber keributan, Hana melirik kebelakang disana ia melihat para petugas keamanan bahkan beberapa polisi yang kesulitan menghadapi massa karena terus memberontak. Hana menarik nafas dalam. Mengucap syukur.

Pandangannya beralih pada pergelangan tangannya yang digenggam kuat oleh Fikran.

"Maaf" Fikran bergegas melepaskan genggamannya.

🌸🌸🌸

15 Safar 1440
25 Oktober 2018

HANA (Republish) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang