24.

3.6K 178 19
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

🌸 🌸 🌸

"Na, tadi malam Fikran pulang jam berapa?" tanya Nur disela bisingnya suara mesin jahit.

"Ba'da Isya bu, Hana nggak liat jam berapa." jawab Hana menggunting kain berdasarkan ukuran.

"Oh gitu. Langsung kamu siapin makan bukan?" tanya Nur memastikan.

Hana menghentikan aktifitas mengguntingnya. Menatap punggung ibunya, "Sudah ibuku sayang. Hana heran deh, kok semakin hari ibu semakin gencar memperhatikan semua hal yang berhubungan dengan om Fikran?"

Nur berbalik menatap Hana, "Panggil mas Hana, dia itu suamimu. Memangnya kenapa? Kamu cemburu?"

"Bukan begitu bu, Hana nggak masalah sih. Cuman kenapa harus Hana yang melakukan semuanya, ibu hanya menyuruh dan ujung-ujungnya Hana juga yang mengerjakan. Padahalkan, om,, eh mas Fikran bisa melakukannya sendiri."

"Nah karena itu ibu terus-terusan menyuruhmu melayani Fikran, supaya kamu terbiasa Na. Meskipun dia tidak memintamu melakukan hal-hal yang dia inginkan setidaknya kamu yang harus sadar diri menyiapkan." Nur menarik napas dalam "Kamu tahu Na, dulu diawal-awal pernikahan ibu dan almarhum ayah, nenekmu selalu menyuruh ibu melakukan banyak hal hanya untuk menyenangkan hati ayahmu. Sampai ibu merasa capai bekerja, setiap hari melakukan hal yang sama. Belum lagi kalau salah dapat omelan dari nenek. Ibu pikir setelah menikah ibu akan merasa bebas namun sebaliknya ibu semakin terkekang. Belakangan ibu sadar bahwa keinginan nenekmu hanya satu yaitu membuat ibu terlihat baik dimata manusia dan dimata Sang Pencipta, Allah Subhanawata'ala. Karena suami adalah jalannya seorang isteri menuju Allah. Ada yang mendekat dan ada juga yang menjauhi-Nya. Tentu kita pasti ingin jalan yang mendekatkan pada Allah bukan?"

Sama seperti sebelum-sebelumnya, jika Nur memberi nasihat, maka Hana akan diam mendengarkan. Kini Hana masih bergeming ditempatnya, mencoba memahami setiap kata yang keluar dari mulut sang ibunda.

"Sekarang kamu siap-siap jemput si kembar. Sebentar lagi mereka sampai di terminal." Nur mengalihkan pembicaraan saat matanya menatap deretan angka yang menempel di dinding ruangan.

"Ibu kenapa nggak siap-siap juga?"

"Sepertinya ibu nggak jadi ikut ke terminal, kamu dan Fikran aja ya Na yang jemput mereka."

"Loh kok gitu, tadi malam kita sepakat untuk pergi bertiga bukan?" protes Hana.

"Ibu lupa kalau siang ini ada pengajian dirumah bu RT, ibu nggak enak kalau sampai nggak datang."

Hana menghembuskan nafas kasar, ia keluar dari ruang menjahit dengan wajah ditekuk.

🌸🌸🌸

Setengah jam sudah mobil suv hitam itu melaju tanpa hambatan. Bukan hanya jalanan yang lengang tetapi kondisi didalam mobil itu pun ikut lengang. Baik Hana maupun Fikran sama-sama diam tak ada yang mau memulai pembicaraan. Fikran memilih diam karena ia bingung harus memulai topik yang mana lantaran ia memiliki begitu banyak persoalan yang ingin dia bicarakan pada Hana. Sedang diamnya Hana, lantaran ia tidak mood untuk membahas hal apapun.

Jarum jam kembali bergeser kekanan. Hana mulai merasakan ada yang aneh dalam dirinya. Terlebih semakin lama rasa nyeri yang ia rasa semakin menyiksa. Beberapa kali ia meremas perutnya lantaran tidak tahan dengan rasa sakit yang dirasa. Semua itu luput dari perhatian Fikran lantaran ia sedang fokus menatap jalanan.

Hana meringis kesakitan lantaran rasa nyeri yang menjalar dari pinggang hingga kekakinya. Ia berususah payah merogoh sesuatu dari dalam tas. Sebuah ponsel ia genggam kuat lalu mengklik sesuatu hingga memunculkan deretan angka dilayarnya. Seketika Hana menarik nafas dalam, kembali memasukkan ponsel ketempat semula.

HANA (Republish) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang