03

1.3K 194 6
                                    

Hujan masih mengguyur malam itu. Namun Hoseok bahkan tak bergerak sekalipun dari tempatnya berdiri saat ini. Dengan sebuah payung hitam yang melindunginya dari amukan hujan di atas sana.

Pria itu masih terkejut. Ketika dirinya sedikit lagi akan bertemu dengan sosok yang sangat ia rindukan, namun berita mengenai jika sosok yang paling ia rindukan itu telah pergi selamanya membuatnya sedih. Jika saja ia lebih cepat untuk kembali ke Seoul, maka dirinya mungkin bisa bertemu dengan sosok yang bahkan sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri.

Hoseok memilih untuk melangkahkan kakinya masuk setelah menutup payungnya. Ruangan itu begitu gelap. Sama pula dengan hatinya saat ini yang begitu sedih ketika mendengar berita yang cukup menyayat hatinya itu.

Sebuah bingkai foto terpajang di sana. Masih sama, begitu pikirnya. Hanya saja, wanita di dalam foto tersebut terlihat sedikit lebih tua dari terakhir kali ia melihatnya.

Pria itu menahan tangisnya. Memilih untuk memberikan penghormatan terakhirnya pada sosok itu. Namun apa mau dikata? Tangisan yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah juga. Ia menangis dalam diam. Bersujud di hadapan bingkai sosok wanita itu. Bahunya bergetar. Menahan isakan keras yang mungkin akan ia keluarkan jika ia tak menahannya.

Seumur hidupnya, ia tak pernah tahu bagaimana sosok Ibunya. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama Kakek dan Neneknya. Ayah? Hoseok bahkan tak tahu apa pria itu masih bisa disebut sebagai Ayah baginya atau tidak.

Hanya wanita itu. Wanita yang menjadi guru di sekolah taman kanak-kanaknya. Wanita itu bahkan lebih dari seorang guru baginya. Dan berkat wanita itu, Hoseok setidaknya merasakan, bagaimana sosok Ibu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Namun saat usianya menginjak 6 tahun, beberapa orang suruhan Ayahnya menjemputnya saat itu. Membawanya yang saat itu masih berada di sekolah. Hoseok bisa apa? Bocah kecil 6 tahun yang tak tahu apapun. Hanya mengikuti kemauan Ayahnya yang mengirimnya menuju Inggris. Hingga membuatnya terpisah selama bertahun-tahun dengan wanita yang paling berharga untuknya itu. Dan saat ia kembali, ia tak akan pernah bisa bertemu lagi dengan wanita itu.

"Maafkan aku, Ssaem."

Isakan mulai terdengar di ruangan gelap nan sepi itu. Belum lagi suara petir dan guyuran hujan di luar sana yang masih bertarung.

"Maaf karena datang terlambat."

Penyesalan itu benar-benar Hoseok rasakan. Padahal, pikirannya sudah berkecamuk akan hal-hal bahagia yang bisa ia lakukan nanti dengan wanita itu.

Menit demi menit berlalu. Isakannya tak lagi terdengar. Dirinya pun kini telah mencoba untuk menetralkan dirinya. Sedangkan pandangannya masih menatap pada sosok wanita dalam bingkai itu.

Dengan kembali memberikan penghormatan terakhirnya, Hoseok mulai beranjak dari sana. Tidak sampai suara sebuah tangisan menarik perhatiannya.

Di sana. Seorang gadis meringkuk sembari berbaring di sana. Hoseok bahkan tak memperhatikan gadis itu bahkan saat dia memasuki rumah duka itu. Langkahnya pun mendekat pada gadis itu. Hingga suara isakan dari gadis itu semakin terdengar olehnya.

Ia berlutut. Menyamakan dirinya dengan posisi sang gadis yang tengah menutup matanya.

"Jangan membangunkannya."

Pandangan Hoseok kini beralih pada pintu ambang rumah duka itu. Dimana di sana adalah Bibi Gong. Seseorang yang memberitahukannya keberadaan tentang gurunya yang bernama Hong Joo Yi dan dimana rumah duka beliau.

"Oh, m-maaf. Aku tidak bermaksud untuk membangunkannya."

Bibi Gong hanya tersenyum tipis. "Tidak apa." Lalu berjalan mendekat pada keduanya. Lebih tepatnya kini menatap pada Rose di sana yang masih terlelap.

"Boleh aku tahu. Siapa gadis ini?"

"Ah, itu. Dia putri Joo Yi."

"Putri? Seingatku, Hong ssaem tak memiliki seorang putri. Apa dia pernah menikah dulu?"

Bibi Gong menggeleng. "Tidak. Joo Yi tidak pernah menikah. Dan juga, dia adalah putri angkatnya." Ucapnya lebih menunjuk pada Rose di sana.

"Namanya Rose. Park Rose. Ya, begitulah yang tertulis di surat itu. Joo Yi menemukannya di depan rumah kami. Tak ada petunjuk apapun selain sebuah kertas yang tertulis jika seseorang yang menulis di surat itu sangat berharap jika dia bisa merawat bayi itu. Maka setelahnya, Joo Yi memilih mengangkatnya menjadi anaknya. Hingga sekarang.

Jadi, aku benar-benar tahu bagaimana terpuruknya Rose saat ini. Karena keluarga satu-satunya yang ia miliki kini telah pergi untuk selamanya."

Tak ada kalimat apapun yang keluar dari Hoseok. Hanya kembali melirik pada gadis yang ia ketahui kini bernama Rose.

"Oh, ya. Kau sudah akan pulang?"

"Ah, itu. Sebenarnya, aku baru saja kembali dari Inggris. Dan kembali kemari karena ingin bertemu dengan Hong ssaem. Tapi sepertinya, takdir berkata lain tentang pertemuan kami."

Bibi Gong hanya mengangguk sebagai jawabannya. "Itu berarti, kau belum memiliki tempat tinggal?"

Hoseok mengangguk. "Ne. Tapi aku sedang menginap di hotel dekat sini."

"Kalau begitu, kau tinggal saja di samping rumah kami. Kebetulan, rumah itu baru-baru ini masih kosong. Jadi, tidak ada yang menempatinya."

"Benarkah? Aku juga sebenarnya sedang mencari tempat tinggal. Syukurlah jika bibi mau menyewakan tempat itu padaku."

"Hey, sewa apanya? Kau hanya perlu tinggal di sana."

"Tidak perlu merepotkan. Jika aku masih bisa untuk membayar sewa, aku akan membayarnya."

Bibi Gong akhirnya menyerah. Menghela napasnya setelahnya. "Baiklah kalau itu memang kemauanmu." Lalu kembali melirik ke arah Rose yang masih terlelap.

"Bisa bantu aku?"

"Ne. Tentu saja."

"Tolong bantu aku membawa Rose untuk pulang. Rumah kami cukup dekat dari sini. Aku hanya tak ingin membangunkannya. Mungkin dia baru terlelap beberapa jam yang lalu."

Hoseok nampak ragu di sana. Namun akhirnya ia hanya mengangguk menjawabnya. Lagipula, hujan di luar sana juga perlahan mulai berhenti. Dan Bibi Gong kini tengah meminta bantuannya.

Perlahan, pria itu kini telah memindahkan gadis yang masih terlelap itu di atas punggungnya. Bahkan dirinya terlihat berhati-hati sekali agar tak membangunkan sang gadis.

"Eomma..."

Hoseok bisa mendengar gumaman kecil yang keluar dari bibir gadis itu. Belum lagi pelukan Rose yang mengerat padanya.

"Sepertinya, dia memang sangat terpuruk."

Bibi Gong hanya menarik ujung bibirnya sebagai tanggapannya. Memilih untuk mengelus punggung Rose sebelum akhirnya kini berjalan lebih dulu sebagai penunjuk jalan pulang.

"Eomma..."

Lagi. Gumaman disertai dengan isakan itu bisa Hoseok dengarkan. Suara gadis itu begitu pilu. Dan hati kecilnya tercubit karenanya.

"Tak apa. Semuanya akan baik-baik saja." Lirihnya. Entah mengapa kalimat itu meluncur begitu saja dengan tatapannya yang sedikit melirik ke arah Rose di sana. Walaupun Hoseok tahu jika Rose pasti tak akan mendengar suaranya itu ketika dirinya tengah terlelap.

Sementara Hoseok dan Bibi Gong terus berjalan beriringan. Dengan Hoseok yang masih menggendong Rose saat ini.

Tanpa Hoseok tahu jika sebuah senyuman terbentuk di wajah gadis yang tengah terlelap itu. Mungkin kalimat singkatnya beberapa menit yang lalu, mampu membuat gadis itu tenang dalam tidurnya saat ini. Dengan dirinya yang semakin menyamankan tidurnya pada punggung tegap itu.

--To Be Continued--


Maunya update kemarin. Tpi gk jadi hehehe

rose ❌ hoperoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang