01

2.7K 249 12
                                    

Musim semi.

Musim dimana secara perlahan bongkahan es serta salju yang menggenangi jalanan mulai mencair terkena sinar matahari yang hangat. Benar, musim semi seperti musim yang paling ditunggu oleh kebanyakan orang-orang. Hangat, namun udara dingin dari musim salju masih terasa.

Orang-orang tampak menikmati sinar matahari di musim semi. Mereka berbondong-bondong keluar dari rumah. Sengaja menyentuhkan kulit mereka agar terkena sinar matahari saat musim semi.

Riuhan suara bocah kecil yang bermain di taman semakin menambah musim semi sebagai musim favorit bagi sebagian banyak orang.

Dan diantara kumpulan manusia yang ada di taman itu, seorang gadis dengan rambut hitam panjangnya tengah duduk di salah satu bangku taman itu. Ditemani gitar kesayangannya yang masih berada di samping kanannya. Bersamaan dengan sebuah buku catatan dan pena yang diletakkan di atas tas ransel berwarna hitam pula yang berada di samping kirinya.

Kedua telinganya sudah terpasang earphone. Dia benar-benar menikmati musim semi. Karena memang musim semi adalah musim favoritnya.

BUK

Gadis itu membuka matanya perlahan. Meraba sebuah bola yang tak sengaja menggelinding ke arah kakinya. Ia melepaskan salah satu earphone-nya dan mengambil bola itu. Bersamaan dengan itu, seorang bocah kecil menghampirinya.

"Noona, itu bolaku."

"Ah, benarkah? Kalau begitu, ini bolamu."

Bocah itu nampak bingung. Melihat gadis itu menyodorkan bolanya tidak langsung padanya. Membuatnya menuntun gadis itu agar menatap ke arahnya. "Aku disini, noona."

"Oh, maaf. Ini bolamu."

"Terima kasih." Ucap sang bocah kecil itu padanya. Dan hanya dijawab anggukan oleh gadis itu setelahnya.

Gadis itu memilih untuk kembali pada bangku yang sebelumnya ia tempati. Memilih untuk membereskan seluruh barangnya termasuk gitarnya pula. Membawanya pergi berlalu dari taman itu setelah ia merasa jika taman yang ia kunjungi sore itu telah ramai oleh banyak orang-orang.

.

.

"Rose, syukurlah kau kembali. Kau membuat bibi khawatir."

Gadis itu tersenyum tipis mendengar nada khawatir dimana seorang wanita paruh baya kini yang selalu ia panggil Bibi itu mendekap tubuhnya. Mengambil alih tas gitar yang sebelumnya ia bawa.

"Kenapa pergi sendirian? Bagaimana jika kau tak bisa pulang, huh?"

"Bibi, aku hanya ke taman yang dekat dari sini. Dan lagipula, aku masih mengingat jalan pulangnya kemari. Jadi, bibi tak usah khawatir lagi."

"Tapi tetap saja. Jika kau ingin pergi, setidaknya beritahu bibi lebih dulu. Bibi benar-benar khawatir jika terjadi apa-apa padamu."

Rose -nama gadis itu- kembali hanya menampakkan senyumnya. Membuat wanita itu mendengus setelahnya.

"Kau selalu saja tersenyum seperti itu. Benar-benar menyebalkan."

Kening gadis itu mengerut setelah mendengar suara yang samar-samar ia bisa dengarkan.

"Bibi Gong, suara apa itu? Kenapa terdengar gaduh sekali?"

"Ah, itu." Deheman kecil tampak Bibi Gong keluarkan. Sembari meletakkan secara perlahan tas gitar milik Rose yang ia ambil alih sebelumnya pada kursi teras di depan rumahnya. "Rose, dengarkan bibi. Kau harus tenang jika kau ingin bibi bercerita padamu sekarang."

"Memangnya ada apa? Jangan membuatku semakin penasaran, bibi."

Lagi. Bibi Gong menarik napasnya perlahan. Semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Rose.

rose ❌ hoperoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang