36

367 48 0
                                    

Sekolah taman kanak-kanak memang akan dipenuhi oleh tawa dan canda yang terdengar dari bibir makhluk kecil yang begitu murni itu. Senyuman mereka begitu polos, belum mengetahui bagaimana dunia yang sebenarnya. Hanya berpikir jika apa yang mereka lakukan saat ini benar-benar membuat mereka bahagia.

Tapi tidak bagi bocah laki-laki itu.

Ia menjauh, duduk pada sebuah bangku panjang yang terletak di bawah sebuah pohon yang besar dan rindang. Bersama dengan sebuah robot mainan yang menemaninya saat ini.

Lalu pandangannya mendongak, menyadari seseorang yang kini mendekat padanya. Pun wajah murungnya kini telah berganti, dengan senyum secerah matahari yang kini tampak di wajahnya. Membuat wanita itu tak bisa untuk tak tersenyum ketika melihatnya.

"Hey, kenapa kau di sini? Tidak bermain bersama teman-temanmu?"

Ia hanya menggeleng sebagai jawabannya. Sementara wanita itu kini telah mengambil tempat kosong di sampingnya, sembari dengan lembutnya ia mengelus kepala bocah kecil itu.

"Ada apa? Mau bercerita pada ssaem?"

Ia masih diam, menundukkan kepalanya dengan masih memainkan robot mainannya. Dan sang guru di sana yang hanya diam, tak ingin memaksa bocah laki-laki itu dan memilih untuk tetap menemaninya.

"Hari ini, Jisoo mengatakan padaku jika ia akan merayakan ulangtahun ibunya."

"Benarkah?"

Ia mengangguk, menghela napasnya setelahnya. "Jisoo bahkan sudah menyiapkan hadiah bagi ibunya."

"Itu bagus sekali. Jadi kau juga menyiapkan hadiah juga seperti Jisoo."

Bocah laki-laki itu hanya menggeleng. "Aku yakin, jika ibunya Jisoo bahkan tak akan mau jika aku ada di pesta ulangtahunnya nanti."

Wanita itu hanya diam, tak mengatakan apapun. Meninggalkan keduanya dalam keheningan saat itu untuk beberapa menit kemudian. Sebelum akhirnya bocah laki-laki itu kembali bersuara.

"Ssaem..."

"Hmm?"

"Apa ssaem memiliki seorang ibu?"

Pertanyaan itu sedikit membuatnya terkejut. Namun dengan cepat pula ia bisa menetralkan dirinya, hanya memasang senyumannya kembali.

"Tentu saja ssaem memiliki seorang ibu. Semua orang di dunia ini dilahirkan dari rahim seorang ibu. Tidak mungkin jika ada seseorang yang tak memiliki ibu."

"Tapi, aku sendiri saja yang memang tak punya ibu, ssaem."

Ia tetap tersenyum, masih mengelus kepala itu dengan lembut. "Itu tidak mungkin sama sekali. Ssaem yakin, jika kau mempunyai seorang ibu. Hanya saja, mungkin ada hal lain yang membuatmu tak bisa bertemu dengan ibumu. Jika semua hal itu sudah terselesaikan, ssaem yakin kau akan bertemu dengan ibumu."

Kepala itu mendongak, menatap pada sang guru dengan pandangan yang begitu polos. Dan sang guru yang seolah mengerti dengan arti tatapan itu tertawa pelan.

"Kau tak mengerti dengan ucapan ssaem, ya?"

Dan ia hanya mengangguk sebagai jawabannya. Benar-benar tak bisa menahan tawanya dan beranjak memeluknya, dimana ia sama sekali tak menolaknya. Membalas pelukan sang guru yang memang akan selalu pelukan yang ia sukai.

"Tenang saja. Kau tak perlu untuk mengerti semuanya. Seperti yang ssaem katakan padamu, jika semua urusan telah terselesaikan, kau pasti akan bertemu dengan ibumu. Ssaem akan yakinkan itu padamu."

Sebenarnya, ia masih tak mengerti dengan ucapan gurunya itu. Namun ia hanya memilih untuk mengangguk, semakin mengeratkan pelukannya pada sang guru.

.

.

Kedua matanya masih tertutup, seolah dirinya masih menikmati suasana yang tengah disuguhkan baginya saat ini. Masih berdiri di tepi sebuah danau saat itu dan menunggu seseorang.

Hingga suara langkah kaki yang terdengar olehnya saat itu membuatnya membuka kedua matanya, menemukan sosok yang sedari tadi ia tunggu. Tersenyum untuknya ketika mendapati bagaimana wajah itu begitu terkejut ketika menatap padanya.

Langkahnya mendekat pada pemuda itu, yang masih diam dan bahkan tak bisa hanya untuk mengeluarkan sepatah katapun. Masih terlalu terkejut dengan apa yang dilihatnya saat ini.

Ia tersenyum, menyentuh wajah pemuda itu dengan lembut. Menghapus pula sebulir airmata yang jatuh membasahi wajah pemuda itu pula setelahnya.

"Putra eomma tumbuh dengan baik, hmm?"

Pemuda itu masih diam. Tentu saja ia terkejut. Ketika sosok ibu yang telah tiada, kini berada di hadapannya. Benar-benar berada di depannya. Ia tak tahu apa yang terjadi padanya. Terbangun begitu saja di tempat yang begitu asing baginya. Lalu bertemu dengan sosok ibunya yang sebenarnya telah tiada.

Namun ia memilih untuk tak memikirkan apapun saat ini. Karena sang Ibu yang ia rindukan kini berada di hadapannya. Itu sudah cukup baginya saat ini. Bahkan jika waktu harus terhenti saat ini, ia tak masalah.

Satu tangannya terangkat, menyentuh tangan sang Ibu yang menyentuh wajahnya. Tersenyum karena sentuhan itu bisa ia rasakan kembali.

"Eomma harus pergi sekarang."

Kebahagiaannya seolah diambil dengan cepat, menggeleng sebagai respon cepatnya. Bahkan sentuhan Ibunya di wajahnya tak lagi ia rasakan. Berusaha untuk menahan Ibunya yang akan beranjak pergi saat itu.

"T-Tidak. Eomma tak boleh pergi. Aku akan ikut denganmu, eomma."

"Tidak, sayang. Kau tak bisa."

"Kenapa tidak? Bukankah eomma yang mengatakan padaku, jika semua urusan sudah selesai, aku akan bersama dengan eomma? Dan sekarang, aku ingin ikut bersama dengan eomma."

Sang Ibu masih tersenyum, memilih untuk mengusap kepala sang putra di sana. "Kau masih mengingat ucapan eomma saat itu, hmm?"

"Kumohon, eomma. Jangan pergi. Bawa aku bersamamu."

"Sayang, eomma tak bisa. Kau tak bisa pergi bersama eomma. Jika kau pergi, ada banyak orang yang akan menangisi kepergianmu."

"Itu tak apa. Asalkan aku bisa bersama dengan eomma."

"Bahkan Rose sekalipun?"

Kali ini, ia terdiam. Membuat Ibunya kini menghela napasnya. "Kau berjanji pada eomma, bukan? Bahwa kau ingin menggantikan eomma untuk menjaga Rose. Jika kau pergi bersama eomma, lalu siapa yang akan bersama Rose nanti dan menjaganya, hmm?"

Diam, hanya itu yang ia berikan sebagai responnya. Masih menangis dalam diam dan sang Ibu yang kembali menghapus airmatanya.

"Kembalilah, nak. Eomma akan baik-baik saja di sini. Tapi ingat, kau harus bahagia. Bersama Rose dan yang lainnya. Maka eomma juga akan bahagia di sini melihatnya. Kau bisa berjanji pada eomma, hmm?"

Ia tak bisa. Namun apa yang bisa ia lakukan sekarang? Dan hanya mengangguk sebagai jawabannya. Membuat senyuman Ibunya semakin lebar ketika menatapnya.

"Putra eomma memang baik. Eomma bangga padamu, nak."

Ia mulai menjauh. Dimana pemuda itu tentu saja panik ketika jarak di antara mereka kini semakin menjauh. Ingin meraih sang Ibu, namun kedua kakinya tak bisa. Seolah ada yang menahannya saat ini.

"Ketahuilah, nak. Walaupun eomma tak pernah merawat dan membesarkanmu dari kecil, tapi eomma selalu berdoa untukmu. Berdoa untuk kebahagiaan putra eomma walaupun itu hanya sedikit. Eomma akan selalu menyayangimu, mencintaimu dengan seluruh hati eomma. Jaga dirimu baik-baik, hmm?"

Ia menangis sejadinya, melihat Ibunya yang semakin menjauh. Ditambah dengan dirinya yang tak bisa menggapai sang Ibu. Setidaknya untuk memberikan sebuah pelukan terakhir padanya. Karena ia pasti akan selalu merindukan sosok itu. Merindukan pelukannya, merindukan senyumannya, bahkan merindukan kasih sayang yang selalu ia berikan untuknya.

Ya, Ibunya akan selalu menjadi orang yang paling ia rindukan.


--To Be Continued--

rose ❌ hoperoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang