Aku kaget. Pria yang benar-benar tak kukenal berdiri dan menghalangi jalanku. Aku tak tahu kenapa.
“Ada perlu apa kak?” kubuka earphone yang menyumpal kupingku. Cepat-cepat aku memperbaiki sikapku untuk benar-benar terlihat sopan di depannya. Jangan-jangan senior. Firasatku buruk.
“Bukumu jatuh.”
Dia memberikan buku kecil yang sangat akrab denganku. Buku pink kesukaanku. Aku masih syok. Untung kali ini aku tidak mengutuki diriku akibat kesalahan legend yang kerap kali kulakukan.“Oiya, jangan manggil aku ‘kak’, kita sekelas. Yah meski aku belum tau siapa namamu.”
Aku tak terlalu peduli ucapannya. Aku masih sibuk mengatur posisi bukuku agar tak jatuh dari peganganku. Sampai aku memutuskan untuk menaruhnya di dalam buku yang lebih besar yang sedang memadati tas yang kugendong. Meski aku sedikit gelisah jika posisi itu justru membuatnya berkerut. Tak apalah. itu kedengaran lebih baik daripada hilang dan tak bisa lagi kutemukan.
“Namaku Seno,” katanya. Menyeimbangi langkah kakiku yang berjalan searah dengannya. Ke kelas.
“Namaku Yosi“
“Apa?”
“Yosi“
“Akrab dipanggil apa?”Aku diam. Sulit sekali rasanya mencerna kata-kata orang yang baru saja kukenal.
“Biasanya dipanggil apa?”
“Yos,” kataku sambil memainkan gelangku. Aku sama sekali tak berani menatapnya lama. Aku takut dia salah paham. Selain itu, aku juga memang ditakdirkan tak berani menatap mata laki-laki manapun, kecuali ayah dan saudara laki-lakiku.
“Yos, panggil aku Sen”
“Kamu suka nulis-nulis di buku kecil gitu yah? Mmmm tinggal nunggu ada namaku yang bakal tetulis di dalam, ya,” kata-kata yang masih kuingat sampai saat ini.
Kali itu, aku sedikit jengkel dengan ucapannya. Bagaimana mungkin dia sepede itu berbicara demikian kepada orang yang baru saja dia kenal. Cowok-cowok yang kutemani sejak lama mungkin tak akan seberani itu mengatakan hal itu.
Entah kenapa, jika waktu dapat diputar, aku memilih untuk tidak mengenalnya. Memilih menjadi orang yang tidak tahu entah ada dia atau tidak di dalam kelas yang kumasuki setiap hari.
Buku yang dia berikan kemarin masih berada dekat denganku. Biar kuralat, bukuku yang dia temukan karena tercecer di jalan menuju kampus. Tepat di depan gerbang utama fakultas—karena selain gerbang itu, masih ada beberapa gerbang untuk memasuki fakultas itu, tergantung darimana seseorang datang. Benar sekali, sesekali akan ada namanya di dalam. Tak perlu kujelaskan mengapa.
Jika dulu aku mengiyakan tentang kesukaanku dengan novel, maka sekarang berbeda. Aku lebih menyukainya. Sebuah novel yang baru kubeli akan bercerita tentangnya. Bagaimana mungkin aku melupakannya.
Seperti kamu bingung dengan diriku, aku juga demikian.
Sedari tadi dia sudah berada tepat di depanku. Ah tidak. Masih dijaraki meja yang tak terlalu luas itu. Orang-orang yang baru saja merasakan jatuh cinta mungkin akan membujukku mendekatinya dan bercerita dengannya. Hal yang kurasa justru akan memperkeruh suasana. Sifatku yang terkenal sangat pemalu tentu memilih diam dan menjadi seorang penikmat—yang entah kapan berani mengatakan tentang kekagumannya. Seperti kamu yang suka dengan masakan ibumu lalu terang-terangan mengatakan kau menyukainya. Atau kejujuranmu tentang dirimu yang suka dengan gaya rambut baru temanmu yang dipotongnya semalam.
Kedengarannya mudah saja untuk dikatakan. Tentang rasa penasaran yang merajalela mulai dari hari pertama saling kenal. Tapi menurutku ini sebuah kekonyolan. Bagaimana mungkin seorang wanita yang memulai? Apalagi jika kamu tahu, dia sedang menaruh hati pada perempuan lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Pagi
Teen FictionBila harus memilih, lebih baik jatuh cinta dalam diam dan harus makan hati setiap hari atau mengutarakan perasaan dan menjadi orang yang tidak kenal setiap hari?