Kebingunganku

64 8 0
                                    

Seperti biasa, aku menunggu teman-temanku di kampus. Menyaksikan banyak mahasiswa dan mahasiswi yang lewat kesana-kemari. Ada yang mencari dosen pembimbing tugas akhir, ada yang mau masuk kuliah, ada yang mau pulang, dan ada yang sepertiku. Duduk di kursi ini entah sedang apa. Akupun tak tahu. Seno duduk tak begitu jauh dariku. Hanya berjarak tiga kursi di sebelahku. Tak seperti biasanya dia datang ke kampus secepat ini. Biasanya hanya aku yang duduk disini sendirian. Mungkin ada teman yang lain, tapi tak dekat denganku. Senior atau juniorku.

Suasananya akan berbeda. Duduk bersama orang yang tak dikenal dekat menurutku jauh lebih baik. Wajar kelihatannya jika tidak ada tegur sapa dan obrolan hangat di dalamnya. Bukan seperti sekarang. Diam, bisu, sibuk dengan ponsel masing-masing. Sekarang aku malah bingung harus membuka apa. Tak ada yang ingin kulihat di ponselku. Seandainya dia tak disini, sudah kusimpan ponselku di tas, dan mulai berkhayal jauh tentang masa depan yang indah. Ingin sekali rasanya aku tiba-tiba tak mengenalnya.

“Hey!”

Aku terkejut. Ada orang yang baru saja menepuk pundakku di belakang.

“Eh Yogi,” kataku setelah menyadari keberadaannya.

“Sendiri terus disini, kayak penunggu gedung aja,” katanya sambil mengambil posisi di samping tempat dudukku. Di antara aku dan Seno. Akupun tak tahu ada apa yang terjadi dengan matanya. Jelas-jelas Seno ada di dekatnya.

“Hehe... gapapa. Sekalian nunggu teman-teman yang lain biar barengan masuk kelas,” jelasku.

“Yogi, kamu ikut bapak ke kantor yah,” suara sekretaris jurusan mengejutkanku. Mungkin Yogi juga.

“Baik, Pak,” sahut Yogi, lalu berdiri.

“Aku tinggal yah,” tangannya melambai sambil berjalan membelakangiku. Lalu pandangannya lurus ke depan, saat yang bersamaan dengan berhentinya lambaian tangannya.

Aku tak pernah menyangka jam tanganku akan berputar lebih lama dari biasanya. Sedikit menyesal aku datang terlalu awal. Teman-teman sekelaspun masih beberapa yang lewat. Belum ada bahkan seperempat dari seluruhnya. Masih jam setengah sepuluh. Sekarang aku tak tahu, apa aku memang doyan menunggu berlama-lama di kursi ini atau memang aku salah melihat jam saat masih di kamar kost. Detik-detik aku berubah menjadi penunggu gedung mungkin akan tiba sebentar lagi, pikirku melayang. Dasar aku.

“Kamu nampak akrab dengan Yogi, seperti pacaran”

Aku menoleh kepada suber suara itu. dia tersenyum kecut. Aku tak menanggapi perkataannya. Sangat aneh. Apa urusannya dengan hubunganku dengan Yogi. Toh dulu dia membiarkanku memperbaiki lukaku sendiri karenanya. Lalu kenapa sekarang dia berlagak menjadi orang yang paling peduli?

“Yogi itu anak yang baik, bukan sepertiku,” sambungnya.

Mataku mulai tak henti memandanginya. Aku kesal dengan perkataannya barusan. “Apa urusanmu?”

“Bukan, aku hanya berniat memberitahumu”

Suasana kembali hening. Tapi hatiku bergejolak meminta keadilan. Sudah kubilang dari awal. Lebih baik aku sama sekali tak mengenalnya. Apalagi bercengkrama dengannya. Hanya akan menimbulkan masalah baru.

Sebelum PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang