Mimpi

54 8 0
                                    

Mata yang paling kutakutkan. Mata Seno yang terus saja memandangiku sedari tadi. Hampir saja aku lenyap dalam genggaman matanya yang kian menajam. Aku membayangkan mawar merah yang tumbuh di depan gedung kampus. Merahnya indah tak seperti wajahku. Kian memerah entah apa maksudnya. Tak ada yang tergiur, Yos, sadarlah. Kumohon.

Dia mendekat.

"Yos, kita masih bisa jadi teman dekat kan? Seperti saat kamu belum tahu tentang aku dan Tere"

Aku diam saja. Berusaha untuk memahami diriku yang tak akan lebih dari sekedar teman dekat.

"Yos, aku tahu kamu menyukaiku"

Jelas saja selama ini tak ada kata selain itu yang bisa membuat jantungku seolah lepas dari ikatannya. Membayangkan bagaimana indahnya malam sepulang survei lokasi sorenya. Petikan gitarnya yang jelas saja selalu berbekas seolah akulah guru les musik yang mengajarinya. Makanya aku selalu mengingat bagaimana tangannya membuat telingaku nyaman.

"... aku hanya berharap setelah kau merasa sakit karenaku, aku bisa menyembuhkannya. Entah bagaimanapun caranya," sambungnya.

Dia semakin mendekatiku. Seolah ingin memberi sesuatu, tangannya kirinya memegang tanganku. Tangan kanannya meletakkan sesuatu di tanganku. Aku kaget, apa ini?


"Yosss... Yosss.... Bangun aih," Dian sedikit berteriak di sebelahku. "Kamu mimpi buruk?"

Aku bingung. Hampir saja ingin kuceritakan pada dunia tentang kebahagiaan ini. Ternyata Dian menganggapnya hanya sebuah mimpi buruk.

Aku tersenyum. Hanya ingin Dian tahu, bersamanya di dalam mimpi pun sudah cukup membuat kedua ujung bibirku cekung ke atas.

Sebelum PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang