Cair

98 10 0
                                    

Orang yang ingin dilupakan
adalah
lawan terbaik dalam perang

Badanku seolah ingin remuk. Tanggal 14 Oktober tinggal duabelas hari lagi. Tanggal yang kami sepakati untuk melakukan pengabdian masyarakat desa. Dulu setelah asyik disibukkan dengan latihan untuk mengisi suara di acara ulang tahun jurusan, kini aku harus sibuk lagi mempersiapkan acara pengabdian masyarakat yang merupakan salah satu program kerja organisasi. Banyak sekali waktuku yang tersita. Jam istirahatku yang kupotong untuk mengerjakan tugas. Waktu bermain bersama temanku yang kuganti menjadi waktu bersih-bersih kost. Mencuci pakaian, menyetrika. Jam bermain bersama teman saat ISHOMA yang kucuri-curi untuk tidur siang. Ternyata sibuk itu mengesalkan.

Sebelumnya, aku pernah merasa orang dengan jadwal yang sangat padat itu keren. Saat dosenku harus mengundur jam kuliah karena ada rapat mendadak bersama rektor. Setelahnya belilau datang dengan waktu yang sudah ditentukan tadi dan mengajar dengan serius. Banyak kata motivasi yang ia lemparkan seolah menceritakan pengalaman hasil kesibukannya selama ini. Entah kenapa aku sering merasa kelak nanti Seno akan seperti beliau. Mengingat dia yang sangat pandai mengatur waktunya untuk keluarga, studi, oragnisasi, teman, dan pacar. Tak ada yang ketinggalan, kecuali waktu untuk pemuja rahasia yang entah masih sebuah rahasiaku dengan Tuhan atau sudah menjadi rahasia umum.

“Bapak tidak punya banyak waktu. Ini ada materi yang bisa kalian pelajari di rumah. Bisa hubungi bapak kalau ada yang kurang dimengerti”, katanya, mengakhiri pelajaran dengan baik lalu memberikan materi tambahan untuk dipelajari di rumah.

Setelah memberikan salam, ia pun mengambil tas yang ia letakkan di meja setelah tadi selesai membereskan laptopnya. Ia berjalan menuju pintu dibarengi dengan puluhan pasang tatapan mata yang mengarah ke pintu sampai akhirnya bayangan beliau pun menghilang dan disambut hiruk-pikuk mahasiswa yang sibuk dengan peralatan tulis masing-masing, ingin cepat-cepat keluar dari ruang kelas yang semakin penuh dengan suara itu.

***

“Minggu depan kita akan keakraban kelas, Yos,” Dian setelah dari tadi menghabiskan waktu untuk sibuk dengan ponsel masing-masing.

“Iya, Di,” jawabku.

Baru saja ingin kurebahkan badanku di kasur Dian. Namun tiba-tiba jadwal kegiatan yang begitu padat membuatku tak sanggup untuk bersantai barang sebentar. Kubereskan tas dan sepatuku dan ijin pulang padanya. Kulangkahkan kakiku menuju kostku untuk bersiap-siap karena akan ada rapat sebentar lagi. Banyak yang ingin dibahas besok, begitu kata ketua di grup wa semalam. Tiada hal lain yang kuharapkan hari ini selain semua temanku datang tepat waktu agar tak membuang-buang waktuku hanya untuk menunggu mereka saja seperti rapat seminggu yang lalu. Tak bisa juga aku kesal kalau alasan terlambatnya karena baru selesai praktikum/perkuliahan.

“Benar-benar butuh mood booster,”kataku sedikit merepet pada diriku sendiri karena aku benar-benar tak ada waktu barang sebentar untuk menghibur diriku sendiri. Sepulang dari rapat, aku malah harus mengerjakan tugas sendirian di kamar atau sesekali menginap di kost Dian kalau ada tugas kelompok atau tugas yang susah.

Aku benar-benar butuh orang yang tak hanya tahu menghancurkan perasaan seperti Seno. Aku tak punya waktu untuk menenenangkan diriku setelah sakit hati dibuatnya. Aku tak tahu entah pernah aku berada dalam fase ini sebelumnya. Tapi benar-benar tak menginginkan orang yang kucintai—layaknya Seno sekarang.

“Udah gimana perkembangan pengabdian masyarakat organisasimu?”

Aku tak tahu sejak kapan Seno peduli dengan aku atau organisasiku. Aku hanya tersenyum sambil memandang ke bawah. Kupastikan aku benar-benar masih duduk di kursi tempat aku dan Dian menunggu Yana dan Kesi. Kebetulan aku melewati kost Dian jika hendak pergi ke kampus, jadi sekalian saja kuajak dia berangkat bareng. Tak ingin munafik, jantungku sebenarnya hampir keluar dari sarangnya saat dia bertanya seperti itu. Saat-saat yang sering kunanti dulu tiba-tiba datang saat aku merasa ingin kukubur saja dalam-dalam impian itu. Seno tidak tahu bahwa dia adalah orang yang paling ahli dalam masalah membuat hatiku berantakan layaknya tak berpenghuni. Setelahnya dia mencari harapan yang kukubur dalam itu dan membangkitkannya lagi ke permukaan.

“Itu Kesi dan Yana udah datang,” kata Dian sembari menarik tanganku bangkit.
Lagi-lagi Dian memberi isyarat ketidak-sukaannya terhadap Seno. Mungkin sebentar lagi dia akan terang-terangan melarangku untuk berbicara dengan Seno jika tak perlu atau sekedar basa-basi.

Kami menuju kelas dan meninggalkan Seno sendirian dengan wajah kebingungannya. Entah sedang menunggu siapa dia disitu. Sesungguhnya aku tidak berniat membuatnya merasa sikapku terlalu dingin. Aku hanya tidak mau mempermainkan perasaanku sendiri. Karena setelah ini, aku akan bergumul dengan diriku sendiri meminta otak membuang rekaman tentang apa yang terjadi tadi.

Sebelum PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang